Wednesday, Dec 18, 2019
TIMUNGANG LOMPOA RI TALLO adalah bekas pintu gerbang Istana KERAJAAN TALLO pada zaman dahulu kala sekitar abad XVI. Disinilah JEJAK dan peninggalan Raja Tallo VI, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka pada saat berjumpa dan berjabat tangan dengan sosok lelaki bersorban hijau dan berjubah putih.
Dalam catatan sejarah kerajaan Gowa-Tallo, diceritakan Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, bermimpi melihat cahaya bersinar dari Tallo ke segala penjuru kerajaan dan negeri sekitarnya. Mimpi itu ia bawa selama tiga hari berturut-turut.
Tepat di malam Jum'at, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M, di malam ketiga mimpi raja, sebuah perahu kecil berlabuh di pantai Tallo. Warga keheranan melihat sesosok pria jubah putih di atas perahu tersebut. Pria itu lalu menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan yang asing dipandang warga. (Belakangan raja mengetahui itu merupakan gerakan sholat). Di malam yang gelap gulita, tubuh pria itu memancarkan cahaya menyilau ke segala penjuru arah. Hal itu membuat warga gempar dan menyampaikan ke raja Tallo tentang sosok pria misterius tersebut, saat besok paginya.
Mendengar hal itu, Raja pun bergegas ke bibir panti Tallo. Belum sempat keluar istana, sosok pria itu tiba-tiba muncul di hadapan raja, tepat di depan gerbang. Raja pun sontak kaget dan melihat wajah pria itu sangat teduh, tubuhnya memancarkan kilau cahaya. pria yang masih misterius itu menjabat tangan raja yang masih kaku melihat sosoknya. Usai berjabat tangan, tangan raja Tallo tiba-tiba bertuliskan bahasa Arab yang ia tak tahu artinya. Orang tua itu lalu meminta agar tulisan tersebut diperlihatkan pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai. Karaeng Matoaya belum sempat berkata-kata, pria itu menghilang seketika. Raja pun bergegas ke pantai Tallo. Dan benar, seorang pria baru saja berlabuh di pantai, pria itu bernama Datuk Ri Bandang, ulama penyebar Islam asal Koto Tengah, Minangkabau.
I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka tiba di pantai dan langsung menemui Datuk ri Bandang. Ia bertanya siapa orang yang ditemuinya dan menggurat tangannya dengan kata-kata dalam aksara asing. "Yang menemui baginda dan menulis di atas telapak tangan baginda, niscaya adalah Nabi Muhammad SAW, yang telah menjelmakan diri di negeri baginda ini," jawab Datuk ri Bandang. Sontak, para penduduk yang juga berada di pantai mengatakan "akkasaraki nabiyya" yang berarti "Nabi (Muhammad) telah menampakkan dirinya." I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka memeluk agama Islam pada tanggal 9 Jumadil awal tahun 1014 Hijrah atau tanggal 22 September 1605. Oleh karena baginda adalah raja yang mula-mula sekali memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan, maka baginda mendapat gelar Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awalul Islam.
“Kisah inilah yang menjadi awal mula nama Makassar. Diambil dari bahasa Makassar ‘Akkasaraki’ atau Menampakkan Diri. Hal itu berdasarkan pengalaman munculnya sosok bercahaya dari pantai,” Pengalaman ‘penampakan’ cahaya putih itulah yang disebut ‘Akkasaraki’. Kisah ini membekas kendati menjadi awal penerimaan Islam di masyarakat kerajaan kala itu. Dari berbagai sumber catatan-catatan pedagang Portugis di abad ke 17, ‘Makassar’ dikenal sebagai pusat kota kerajaan Gowa-Tallo. Meski sempat berganti nama menjadi Ujung Pandang, namun Pemerintah bersepakat mengembalikan nama Makassar, karena punya akar historis yang kuat.
Sumber :