Wednesday, Dec 18, 2019
Datu Museng dikenal dimasa mudanya dengan nama I Baso Mallarangang Datu Busing atau lebih dikenal Datu Museng adalah pelayan setia Datu Taliwang Sultan Sumbawa yang berkuasa sekitar tahun 1700-an. Datu Museng ialah seorang pribadi yang taat pada agamanya, pemurah dalam berderma kepada orang miskin, mengasihi orang malang serta berpaling dari larangan dan menghindari keburukan. Seratus tahun lewat pasca kejatuhan Gowa-Tallo ke tangan VOC, Datu Museng kecil bersama sang kakek yakni Addengareng menyeberangi lautan luas menuju Pulau Sumbawa. Mencari suaka politik, mereka kabur dari ancaman menjadi korban politik adu domba yang dilancarkan Kompeni di lingkar dalam istana. Datu Museng menghabiskan masa kecil hingga dewasa di Sumbawa.
Dalam Sinrilik Datu’ Museng dan Maipa Deapati merupakan sebuah cerita tutur kepahlawanan yang dibumbui kisah asmara dan kesetian, cinta dan kasih sayang supaya lebih menarik yang dimulai sejak tahun 1765. Namun disadur ke bentuk tulisan tahun 1852 oleh Benjamin Matthes, seorang missionaries Belanda dan pelopor penerjemah Kitab Injil ke dalam bahasa Bugis Makassar. Hasil sadurannya ini termuat dalam 1.150 baris.
Dikisahkan bahwa Maipa Deapati adalah putri dari Sultan Sumbawa, Datu’ Taliwang. Datu’ Taliwang dalam sejarahnya benar adalah Sultan Sumbawa di era tahun 1700-an. Sosok Maipa Deapati dideskripsikan sebagai seorang putri raja yang kecantikannya tersohor di seluruh Kesultanan Sumbawa. Namun sudah dijodohkan sejak kecil dengan Pangeran Mangngalasa, seorang putra mahkota Kerajaan Lombok yang masih kerabatnya. Saat Maipa Deapati menempa pendidiikan keagamaan di Pondok Pengajian Mempawa, di sanalah ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang bernama I Baso Mallarangang. Ia adalah bangsawan yang berasal dari Kerajaan Galesong dan menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Ayahnya bernama Karaeng Gassing, nama ibunya tidak diketahui, dan di Kesultanan Sumbawa tinggal bersama kakeknya yang bernama Addearangang. Di kemudian hari I Baso Mallarangang ini dikenal dengan nama Datu’ Museng. Ternyata pertemuannya dengan Datu’ Museng inilah menumbuhkan rasa saling suka dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah cinta sepasang sejoli. Namun benih cinta antara Maipa Deapati dengan Datu’ Museng ini terhalang oleh perjodohan keluarga yang telah dilakukan oleh Sultan Sumbawa dengan putra mahkota Kesultanan Lombok.
Sang kakek, Addearangang yang mengetahui apa yang dialami cucunya, menyadari akan kekeliruan dan peristiwa apa yang bakal diterima cucunya, akhirnya menyarankan untuk segera berguru pada seorang syekh di Mekkah dan Madinah dan diminta mencari dan memetik Bunga Ejana Madina (Kembang Merah Medinah) sebagai media untuk mewujudkan impiannya. Hal ini disadari betul sang kakek karena, ia tahu cucunya, I Baso Mallarangang mempunyai sifat yang keras sesuai dengan arti dari namanya, “Laki-laki yang tak terhalangkan kemauannya”. Terdorong rasa cinta yang begitu kuat kepada Maipa Deapati, I Baso Mallarangang pun berangkat ke Mekkah. Di sisi lain, Maipa Deapati yang juga mempunyai rasa cinta yang kuat kepada I Baso Mallarangang, akhirnya jatuh sakit karena menahan rindu kepada sang kekasihnya yang sedang menempa ilmu di Mekkah.
Sultan Sumbawa dan Permaisuri menempuh segala agar Maipa Deapati sembuh, namun tidak membuahkan hasil. Saat I Baso Mallarangang kembali dari Mekkah dan Madinah, ia langsung ke istana Sultan Sumbawa setelah mendengar bahwa kekasihnya sakit dan segera memberikan pengobatan sesuai ilmu yang telah dipelajarinya dari Mekkah. I Baso Mallarangang pun berhasil dan Sultan Sumbawa serta Permaisuri sangat senang dan bahkan menyetujui kalau kalau Maipa Deapati dan I Baso Mallarangang ternyata saling mencintai. Pangeran Mangngalasa yang merasa sudah dijodohkan dengan Maipa Deapati tidak terima dan dengan menggunakan berbagai cara bahkan bersekutu dengan Belanda untuk mengalahkan dan membunuh I Baso Mallarangang. Konflik pun terjadi, dan akhirnya dengan kemampuan dan sikap kesatria yang dimiliki I Baso Mallarangang, Pangeran Mangngalasa pun kalah dan meninggalkan Sumbawa mencari perlindungan kepada Gubernur Belanda (disapa Tumalompoa) di Fort Rotterdam Makassar. Akhirnya, Maipa Deapati pun menikah dengan I Baso Mallarangang yang kemudian diangkat menjadi Panglima Perang Kerajaan Sumbawa dan namanya pun diganti dengan Datu’ Museng.
Saat Datu’ Taliwang mendengar bahwa Kerajaan Gowa dalam keadaan kacau akibat pergolakannya dengan Belanda, maka sebagai sekutu Raja Gowa, memerintahkan Datu’ Museng disertai istrinya Maipa Deapati untuk segera ke Makassar untuk membantu Kerajaan Gowa. Saat tiba di Makassar, ternyata berita akan kecantikan Maipa Deapati sudah tersebar dan bahkan Tumalompoa sangat menginginkan Maipa Deapati sebagai istrinya. Dengan berbagai cara termasuk menghasut para bangsawan, akhirnya perang terbuka dan konflik bekepanjangan pun terjadi antara Belanda dengan para Tubarani sewaannya. Dalam berbagai pertempuran, banyak pasukan Belanda dan orang suruhan Tumalompoa tewas dalam menghadapi Datu’ Museng yang mempertahankan istrinya Maipa Deapati. Dengan badik sakti yang bernama Matatarampa’na, Datu’ Museng berhasil pula membunuh para bangsawan dan Tubarani yang menjadi suruhan Belanda, seperti yaitu Pangeran Mangngalasa bekas tunangan Maipa Deapati (diberi gelar oleh Belanda Pallakina Malengkeri) , Suro Daeng Jarre, Karaeng Nyikko ri Kanaeng, Karaeng Mangngemba ri Dengga. Sedangkan yang melarikan diri dalam pertempuran adalah I Bage Daeng Majjanji, Karaeng Lewa ri Popo, I Taga ri Mangindara.
Maipa Deapati menyadari bahwa betapun hebatnya kemampuan suaminya Datu’ Museng dalam menghadapi Belanda dan para tubarani suruhan Belanda yang ingin memisahkannya dengan Datu’ Museng, maka di sela-sela pertempuran saat suaminya Datu’ Museng selesai menunaikan shalat dhuhur, Maipa Deapati pun mengambil air wudhu dan menyerahkan secara ikhlas kehidupannya kepada suaminya karena tidak ingin kulitnya tersentuh sedikit pun oleh laki-laki lain apalagi Belanda. Mereka pun berjanji sehidup semati. Datu’ Museng berjanji bahwa ia akan menyusul tidak melewati shalat maghrib. Maipa Deapati pun meninggal di pangkuan suaminya yang juga sangat mencintainya.
Setelah Maipa Deapati, meninggal kemudian ditempatkan pada kursi, Datu’ Museng pun kemudian kembali bertempur laksana banten yang mengamuk dengan pasukan Belanda dan orang suruhannya. Salah satu yang ingin sekali membunuhnya adalah Karaeng Galesong, padahal Datu’ Museng dianggapnya sebagai saudara bukan sebagai musuh, dan hanya salah kaprah karena hasutan Belanda. Datu Museng menyadari bahwa janji untuk menyusul Deapati pun sudah tiba karena menjelang maghrib. Datu’ Museng lalu menyerahkan mustikanya kepada Karaeng Galesong, dan meminta supaya Karaeng Galesong sendiri yang membunuhnya. Tumalompoa yang sangat menginginkan Maipa Deapati hanya menjumpainya sudah terbujur kaku. Untuk mengenang kisah romantisme yang penuh dengan heroik ini, maka Datuk Museng dan Maipa Deapati diabadikan namanya sebagai nama jalan dalam wilayah Kelurahan Losari untuk menjadi kenangan sepanjang masa di Kota Makassar.
Sumber :