Wednesday, Dec 18, 2019

MAKAM BO`LOSO DENG MATTAWANG

Masuknya Jepang Di Sulawesi Pergerakan awal Jepang masuk ke pulau Sulawesi yaitu melalui Kota Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 11 Januari 1942, kemudian ke Kota Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 24 Januari 1942 dan setelah itu 13 Jepang telah sampai di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pada tanggal 9 Februari 1942 (Aziz, 1991: 2, dalam skripsi Hakim 2015). Sulawesi Selatan secara resmi dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang pada bulan Maret 1942, bersamaan dengan menyerahnya Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda di Jawa. (Pawiloy, 1982). Masuknya Jepang ke Kota Makassar yaitu melalui Kendari. Jepang masuk dan mendarat di Makassar dengan 2 pasukan Grup. Grup 1 mendarat di Sampulungan pada 9 Februari 1942, sedangkan grup 2 mendarat di Barombong pada 8 Februari 1942 yang dimana kedua grup ini terus bergerak menuju daerah yang dianggap mampu menunjang perang dan mempertahankan wilayah Makassar. Salah satu tujuan Jepang menduduki Makassar adalah untuk persiapan dan mengantisipasi saat kode sandi Gurita Timur terbaca dan diketahui oleh sekutu (Darminto, 2018). Setelah berhasil menduduki Makassar, dengan cepat Jepang menjalankan sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut Jepang. Namun tidak lama kemudian Makassar yang masuk dalam operasi Gurita Timur diketahui oleh musuh dan secara bertahap Makassar diserang oleh sekutu pada rabu 23 Juni 1942 melalui udara dengan menjatuhkan bom dititik pemukiman tentara Jepang. Bom di Makassar terus dijatuhkan sehingga tentara Jepang harus mundur dan mencari tempat persembunyian sekaligus bertahan dari serangan dengan tetap mempertahankan wilayah Makassar dari usaha ekspansi sekutu (Darminto, 2018). 14 Kehadiran Jepang di Sulawesi Selatan diharapkan dapat mendatangkan suatu perubahan yang lebih baik. Dengan demikian, pihak Jepang berhasil menumbuhkan keyakinan para tokoh-tokoh pergerakan seperti Lanto Daeng Pasewang, Wahab Tarru, Manai Sophian dan Andi Mattalata. (Kadir, 1984). Oleh karena itu, pada awal pendudukan Jepang berusaha menerapkan politik lunak agar tujuan utama Jepang tidak dicurigai oleh rakyat Indonesia, dimana politik lunak pemerintahan Jepang menitikberatkan pada bidang ekonomi, serta pertahanan keamanan dengan menanfaatkan sumber daya yang ada di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, pemerintah Jepang berusaha untuk menguasai dan mendapatkan sumbersumber bahan mentah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan-bahan untuk perang. Sehingga pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi Indonesia lumpuh. Karena kehidupan ekonomi yang pada awalnya berorientasi untuk kesejahteraan rakyat sepenuhnya berubah menjadi ekonomi yang berorientasi pada ekonomi perang (Anonim, 2011). Namun, kepercayaan terhadap Jepang menjadi hilang ketika bendera Merah Putih diturunkan dan satu-satunya bendera yang boleh berkibar hanyalah bendera bangsa Jepang. Setelah itu Jepang menjadi semena-mena terhadap rakyat Indonesia. Maka julukan liberator berubah menjadi imperator. Suku makassar memberikan kiasan “Poppo alampa, naparakang ambattu” yang artinya lebih kejam yang menggantikan dari pada yang digantikan. Ini berarti dalam dada penduduk mulai tertanam benih permusuhan terhadap bangsa Jepang. (Pawiloy, 1982)

 

Dalam menjalankan pemerintahannya, Jepang melakukan dua kegiatan yakni sebagai berikut;

(a) kegiatan secara non-fisik yaitu, dengan cara menarik hati rakyat Indonesia dengan memberikan kesempatan untuk ambil bagian dalam pemerintahan negara, meliputi badan pertimbangan di daerah maupun di pusat juga dalam jabatan-jabatan tinggi serta penasehat di bidang kemiliteran (Kartodirdjo et al, 1976).

(b) kegiatan secara fisik yaitu, berupa 2 pembangunan sarana pertahanan sesuai dengan situasi dan kondisi pada setiap daerah (Chawari, 2016). Pembangunan sarana pertahanan dimaksudkan untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang. Pembangunan sarana pertahanan tersebut berupa benteng, pilboks, baterai, bungker, gua alami serta gua buatan yang biasanya didirikan di dua daerah, yaitu di daerah pesisir sebagai garis pertahanan terluar dan di daerah pedalaman sebagai garis pertahanan bagian dalam. Bangunan peninggalan Jepang merupakan obyek yang sangat penting untuk diteliti dan dilestarikan. Peninggalan tersebut dapat menggungkap strategi perang yang dilakukan Jepang, meliputi strategi menyerang (offensive) maupun strategi bertahan (defensive) serta dapat mengungkap cara-cara hidup manusia selama masa perang (Hakim, 2015).

Pada umunya setiap jenis konstruksi bangunan pertahanan berupa bungker selalu di pengaruhi oleh keadaan geografis daerah itu sendiri. Hal tersebutlah yang membuat suatu wilayah memiliki jenis tinggalan bungker yang berbeda-beda (Riyanto,2018). Dewasa ini, bungker merupakan sebuah bangunan militer yang memiliki fungsi sebagai tempat berlindung, pos penjagaan dan memantau pergerakan musuh yang akan melakukan penyerangan terhadap pasukan tentara serta masyarakat setempat. Bungker sendiri dibuat dengan cara dicor memakai bahan batu kerikil, pasir dan semen. Bungker juga adalah simbol pertahanan kota yang megah dan pernah bising oleh suara ledakan altireli, mortir dan jeritan kematian (Mulyadi, 2020; Primantoro, 2017; Pamungkas 2017)

 

 

Selain itu, bungker Jepang secara khusus mempunyai ciri-ciri fisik.

Pertama yaitu langit-langit atau bagian atap ruangan dalam bungker berbentuk datar atau horisontal. Langit-langit suatu bangunan yang berbentuk datar maka gaya beban akan mengumpul pada suatu titik atau bidang saja (Dewi 1985, 66).
Kedua, yaitu bagian dinding luar dan dinding dalam tidak dilepa sehingga terlihat bekas penggunaan papan kayu dalam pengecoran. Kondisi yang demikian ini apakah dimungkinkan karena Jepang dikejar waktu. Maksudnya agar pembuatan bungker cepat selesai maka tidak dilakukan penghalusan dinding. Dengan demikian sarana pertahanan Jepang asal sudah bisa difungsikan langsung digunakan dengan kurang memperhatikan finishing pembuatannya. Dengan demikian pula masalah keindahan dan kesempurnaan kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan. Ketiga, tidak memakai daun pintu dan daun jendela. Hal ini diketahui karena tidak ada bekas dalam penggunaan engsel pintu dan engsel jendela. Engsel pintu dan engsel jendela dibuat dari bahan besi. Tidak adanya pintu pada bungker Jepang dimungkinkan agar aksesnya lebih mudah yaitu untuk keluarmasuk bungker.Tidak adanya pintu maupun jendela identik dengan tidak adanya kekhawatiran akan datangnya bahaya dari luar (Chawari, 2016). Sampai pada saat ini, kondisi peninggalan bangunan pada masa penjajahan Jepang rata-rata telah terbengkalai dan tidak terawat, sehingga menyebabkan kerusakan dan bahkan tidak ditemukan lagi karena hancur (Mulyadi, 2020). Tinggalan bangunan berupabungker yang dulunya digunakan sebagai salah satu bentuk pertahanan Jepang untuk 4 mempertahankan daerah kekuasaannyarata- rata telah menjadi bangunan yang tidak terawat. Bahkan cukup banyak ditemukan bungker disetiap daerah yang membuat keberadaanya itu nyata adanya, akan tetapi sebahagian dari bungker tersebut sekarang sudah hancur hingga menyisakan pondasi saja (Mulyadi, 2020).

Salah satu tinggalan bangunan Jepang yang kondisinya saat ini tidak terawat yaitu bungker yang berada di Pulau Lae-Lae (salah satu pulau kecil yang terdapat di pesisir laut Kota Makasar), padahal tinggalan bangunan tersebut dapat menjadi bukti bekas Perang Dunia ke II. Bahkan berdasarkan catatan sejarah, Selat Makassar menjadi bagian dari kisah pertempuran “Teater Pasifik” antara Jepang dengan Amerika dan negara-negara sekutunya sekitar tahun 1942 (Yusriana et al, 2019).

Pulau Lae-Lae sudah ada sejak tahun 1960an.. Pada tahun 1963 menurut hasil wawancara hanya ada tiga penghuni di pulau Lae lae. Penghuni tersebut bernama Daeng Ngempo, Daeng Puji dan ada satu lagi tak tahu namanya, Daeng Puji adalah perempuan berbadan subur yang mengaku lahir tahun 1963 di Pulau Lae Lae, te tapi tak terlalu yakin ini bercerita kalau pulau Lae-Lae sudah dihuni sejak tahun 1940an. “Kakek-nenek- nya termasuk penghuni yang pertama datang. Daeng Puji lahir besar pulau Lae Lae. Kalau menghitung dari kelahirannya yang konon lahir di tahun 1963, maka penjelasan kalau kakek-neneknya datang di tahun 1940an.

Bukti lainnya adalah sumur tua yang jadi sumber air utama penduduk pulau. Dari penuturan Daeng Puji yang mendapatkan cerita dari kakeknya, sumur itu dibangun oleh orang Belanda. Setidaknya itu membuktikan cerita kalau pulau Lae-Lae sudah dihuni sejak tahun 1940an. Bukti lainnya, di pulau itu ada bunker peninggalan tentara Jepang di masa perang dunia kedua.

Nama Lae-Lae pun masih jadi tanda tanya. Ada dua cerita, tapi keduanya melibatkan seorang warga keturunan Tionghoa bernama Bo’loso daeng Mattawang. Konon Bo’loso daeng Mattawang yang tidak diketahui pasti asal-usulnya terdampar di pulau Lae-Lae. Ketika ditolong warga dan sebelum menjemput ajal keluar kalimat dari mulutnya: lae..lae. Tidak ada yang tahu pasti apa maksud kalimat itu, tapi akhirnya kalimat itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang sebelumnya tak bernama.

Versi lainnya menyatakan, ketika Bo’loso daeng Mattawang terdampar dan menjelang menjemput ajal, di pangkuan orang yang menolongnya dia menyebut kalimat tauhid, La ilaha illallah. Karena kondisi yang payah, kalimat yang keluar hanya: lae..lae. Entah versi mana yang benar.

 

Pulau Lae-lae termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Lae-Lae, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis Pulau Lae-Lae berada di perairan Selat Makassar pada posisi 199°23‟33,1‟‟ BT dan 05°08‟16,0” LS.Pulau seluas 6,5 hektare , area ini dihuni oleh penduduk sebanyak 400 kepala keluarga, dengan mata pencaharian penduduknya, sebagian besar adalah nelayan.

Pulau Lae Lae merupakan sebuah pulau kecil yang termasuk dalam gugusan spermonde. Pulau Lae-Lae berjarak 1,25 km dari dermaga Kayu Bangkoa Makassar dan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 15 menit dari dermaga tersebut. Saat ini pulau Lae-Lae merupakan salah satu destinasi wisata Kota Makassar khususnya wisata pantai.

 

Galeri

...
  • Nama Lain
  • Kategori Struktur
  • Letak Pulau Lae-Lae
  • Kelurahan Lae lae
  • Kecamatan UJUNG PANDANG

Bagikan:

(c) 2022 Dinas Kebudayaan Kota Makassar