Wednesday, Dec 18, 2019
Fort Rotterdam ialah benteng yang dibangun kembali oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bekas Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) yang merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Sumber lain mengatakan bahwa yang dibangun oleh pihak VOC ialah bangunan-bangunan didalamnya, sedangkan struktur dinding benteng didirikan oleh kerajaan Gowa-Tallo. Selain kedua nama di atas, di masa Kerajaan Gowa-Tallo, rakyat biasa menyebutnya sebagai ‘Benteng Panynyua’,” dimana penamaan ini tidak lepas dari bentuk benteng yang menyerupai seekor penyu.
Benteng Jumpandang dibangun oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (1510-1546) pada tahun 1545, dan dilanjutkan oleh Raja Gowa X, I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565). Mengenai pembangunannya, ada versi yang mengatakan bahwa benteng ini didirikan oleh Raja Gowa X. Pada masa Kerajaan Gowa-Tallo, benteng ini digunakan sebagai benteng pertahanan, bahkan disebutsebut juga menjadi tempat pertemuan bilateral kerajaan. Penamaan Benteng Jumpandang sendiri dikarenakan di daerah sekitar benteng dahulu banyak dijumpai pohon pandan.
Benteng Jumpandang merupakan salah satu dari lima belas benteng pengawal yang dibangun oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kelima belas benteng-benteng tersebut yaitu, Benteng Tallo, Benteng Ana' Tallo, Benteng Ujung Tanah, Benteng Pattunuang, Benteng Jumpandang, Benteng Mariso, Benteng Bontorannu, Benteng Barobboso, Benteng Kale Gowa, Benteng Ana' Gowa, Benteng Garassi, Benteng Panakkukang, Benteng Galesong, Benteng Barombong, dan Benteng Sanrobone. Kelima belas benteng tersebut membentengi pesisir pantai Kerajaan Gowa-Tallo dari utara hingga ke selatan, dengan benteng utamanya ialah Benteng Somba Opu. Kini, hanya Benteng Jumpandang saja yang kondisinya relatif utuh jika dibandingkan dengan benteng-benteng lainnya.
Pada tanggal 18 November 1667, Raja/Sultan Gowa XVI, I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin (1653-1669), dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang menyebabkan Benteng Jumpandang harus diserahkan kepada VOC. Benteng ini berpindah alih ke pihak VOC setelah kekalahan Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo di Perang Makassar (1666-1669). Pada masa VOC, akibat kerusakan ketika perang, bangunan di benteng ini diubah dari bangunan yang khas Makassar dengan tiang tinggi diganti dengan bangunan bergaya ghotik khas Eropa. Selain bangunan benteng, penggantian nama menjadi Fort Rotterdam juga dilakukan oleh Cornelius J. Speelman untuk mengenang tempat kelahirannya di Belanda. Salah satu dari beberapa alasan pemilihan lokasi pada benteng ini karena pihak kompeni menganggap benteng ini memiliki kualitas air yang baik dan layak untuk digunakan bahkan dikonsumsi, selain itu lokasi benteng juga baik untuk dijadikan sebuah pelabuhan. Beberapa alasan lain ialah karena struktur benteng yang masih kokoh dibanding yang lain. Benteng Jumpandang merupakan salah satu dari lima belas benteng pengawal yang dibangun oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kelima belas benteng-benteng tersebut yaitu, Benteng Tallo, Benteng Ana' Tallo, Benteng Ujung Tanah, Benteng Pattunuang, Benteng Jumpandang, Benteng Mariso, Benteng Bontorannu, Benteng Barobboso, Benteng Kale Gowa, Benteng Ana' Gowa, Benteng Garassi, Benteng Panakkukang, Benteng Galesong, Benteng Barombong, dan Benteng Sanrobone. Kelima belas benteng tersebut membentengi pesisir pantai Kerajaan Gowa-Tallo dari utara hingga ke selatan, dengan benteng utamanya ialah Benteng Somba Opu. Kini, hanya Benteng Jumpandang saja yang kondisinya relatif utuh jika dibandingkan dengan benteng-benteng lainnya.
Mengenai struktur benteng, pada awalnya struktur dinding benteng diperkuat dengan tanah liat. Kemudian pada abad XVII, benteng ini kemudian dimanfaatkan serta dikembangkan oleh VOC hingga berbentuk seperti sekarang. Selain itu, pada tanggal 9 Agustus 1634, Raja/Sultan Gowa XIV, I Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin (1593-1639), membuat tembok yang dibuat dari campuran batu padas hitam, batu karang, dan bata dengan bahan perekat yang dibuat dari kapur dan pasir. Batu padas hitam tersebut didatangkan dari daerah Gowa. Pada tahun berikutnya, dibangun lagi tembok kedua di dekat pintu gerbang.
Pada 1950, benteng ini sempat menjadi tempat tinggal anggota TNI dan warga sipil sebelum akhirnya jatuh kembali ke Benteng Rotterdam kemudian dijadikan sebagai Pusat Pertahanan Tentara Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) untuk menghadapi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada 1970, Benteng Rotterdam dipugar oleh pemerintah dan difungsikan sebagai areal perkantoran. Salah satu gedung di dalam kompleks benteng ini difungsikan sebagai Museum Propinsi Sulawesi Selatan yang bernama Museum La Galigo.
Pada tanggal 27 April 1977, Kantor Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Wilayah IV juga ditempatkan di benteng ini. Saat ini Benteng Rotterdam dalam keadaan baik serta terawat dan ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya pada 22 Juni 2010, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Nomor PM.59/PW.007/MKP/2010.
Bangunan-bangunan dalam benteng:
GEDUNG A
Bangunan ini menempati Bastion Bone, merupakan tempat untuk menerima kedatangan tamu dari Kerajaan/Kesultanan Bone.
GEDUNG B
Dahulu bagian atas bangunan dipergunakan sebagai tempat perwakilan dagang dan bagian bawah difungsikan sebagai sel. Bangunan ini dahulu keadaannya sangat hancur karena terkena bom, kemudian kembali seperti sediakala setelah direhabilitasi tahun 1994.
GEDUNG C
Bangunan ini terletak di Bastion Buton/Butung. Dahulu dipergunakan untuk menerima tamu dari Kesultanan Buton. Setelah direhabilitasi tahun 1976, bangunan ini kemudian digunakan sebagai Pusat Latihan Tari Indonesia (Konservatory Tari Indonesia) di Ujung Pandang. Setelah itu, digunakan sebagai Pusat Kesenian Makassar atau lebih dikenal sebagai bangunan DKM (Dewan Kesenian Makassar).
GEDUNG D
Bangunan ini merupakan bangunan tertua di antara bangunan lainnya yang ada dalam benteng. Didirikan pada 1686, sebagai tempat tinggal bagi Cornelis J. Speelman. Pada tahun 1938, gedung tempat tinggal Cornelis J. Speelman diubah menjadi Museum Celebes, kemudian pada 1970-an, gedung ini menjadi Museum La Galigo yang menyimpan berbagai benda-benda bersejarah hingga sekarang. fungsinya masih sebagai wisma. Bagian belakang gedung ini merupakan rumah sakit bagi orang Belanda yang kemudian dirubah fungsinya sebagai wisma tentara dan sekarang fungsinya masih sebagai wisma.
GEDUNG E
Pada masa dahulu, digunakan sebagai tempat tinggal pimpinan perdagangan dan kediaman pendeta. Setelah direhabilitasi tahun 1977, digunakan sebagai gedung museum untuk koleksi seni rupa (art galery) dan auditorium.
GEDUNG F
Bangunan ini mempunyai selasar teras yang terbuat dari kayu pada bagian depan di lantai II dan tidak mempunyai molding di bagian atap. Bangunan ini merupakan hasil rekonstruksi suaka, karena keadaan sebelumnya sangat hancur.
GEDUNG G
Gedung G atau gudang dan bengkel. Gedung ini berlantai tiga, yang ditempati oleh lembaga adat Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo. Pada bagian depan terdapat tangga menuju lantai dua. Dahulu digunakan sebagai tempat pertukangan dan setelah direhabilitasi, kemudian digunakan sebagai gudang dan masa sekarang digunakan sebagai sekretariat Kesultanan Tallo.
GEDUNG H
Bangunan ini menempati Bastion Mandarsyah di Timur Laut Benteng Rotterdam. Nama Bastion Mandarsyah sendiri diambil dari nama salah seorang Sultan Ternate di abad XVII yang bersekutu dengan VOC dan Bone dalam Perang Makassar, yakni Sultan Mandarsyah. Dahulu bangunan ini digunakan sebagai tempat untuk menerima kedatangan tamu dari Kesultanan Ternate.
GEDUNG I
Gedung ini berlantai satu dan merupakan bangunan yang dibangun pada masa Pendudukan Jepang. Menurut sumber sejarah, gedung tersebut dibangun karena Jepang kekurangan gedung kantor pada masa pemerintahannya di Makassar. Gedung ini dibangun oleh Jepang sebagai kantor penelitian bahasa dan pertanian.
GEDUNG J
Bangunan J digunakan sebagai tempat bagi pemegang buku Germising. Direhabilitasi pada tahun 1976. Luas bangunan adalah 838,24 m2. Pada bagian tengah, terdapat lorong yang dahulunya digunakan sebagai jalan pintu benteng bagian Timur yang sudah tidak digunakan lagi, berbentuk kubah dan terdapat piscina-piscina di sebelah kiri dinding.
GEDUNG K
Dahulu digunakan sebagai Balai Kota, setelah direhabilitasi tahun 1976, digunakan sebagai Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Wilayah Sulawesi Selatan. Sekarang telah berganti nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
GEDUNG L
Bangunan ini terletak pada Bastion Amboina/Ambon (Tenggara). Dahulu terdapat bangunan di atasnya, namun sekarang hanya nampak dua buah bangunan yang dipisahkan oleh lorong menuju ke atas bastion. Gedung ini juga pernah menjadi tempat tahanan/penjara.
GEDUNG M
Pada masa lalu, merupakan gudang dan menjadi pusat perdagangan Belanda. Setelah direhabilitasi tahun 1974, keseluruhan bangunan difungsikan sebagai Gedung Museum La Galigo sampai sekarang.Bangunan ini menempati Bastion Bacan dan merupakan tempat untuk menerima tamu dari Kesultanan Bacan dan gedung yang dilabeli sebagai bekas ruang tahanan Pangeran Diponegoro dan keluarganya yang diasingkan ke Makassar (di Fort Rotterdam) sejak 1833 hingga 1855.
GEDUNG O
Dahulu terdiri dari dua bangunan. Dapat terlihat dari ketinggian atap yang tidak merata atau sama tinggi. Terdiri atas dua ruangan, difungsikan sebagai pos jaga pintu gerbang dan kediaman kepala mandor dan kantor Gubernur Jenderal. Setelah direhabilitasi (1974), digunakan sebagai kantor dan pusat kegiatan Balai Penelitian Bahasa Cabang Ujung Pandang.
GEDUNG P
Bangunan berlantai dua ini digunakan sebagai gereja pada masa kolonial Belanda. Sekarang digunakan sebagai Aula di bagian atas dan bagian bawah digunakan sebagai ruang pameran oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Bangunan berbentuk persegi panjang yang melintang dari utara ke selatan tersebut, terletak pada bagian tengah dari Benteng Ujung Pandang. Direhabilitasi pertama kali dengan menggunakan dana dari bantuan Kerajaan Belanda tahun 1976, pada bagian depan, terdapat dua buah tangga di sebelah kiri dan kanan yang dibuat berterap.
Jl. Ujung Pandang No. 1