Wednesday, Dec 18, 2019
A. Sejarah Songkok Recca Bugis
Songkok atau peci merupakan identitas alat tutup kepala yang digunakan bagi sebagian besar kaum lelaki yang melambangkan sebagai mahkota kehormatan. Selain mencerminkan kegagahan seseorang, songkok juga kerap dijadikan sebagai simbol identitas adat dan kultur suatu daerah. Salah satu contohnya adalah Songkok Recca.
Di Kabupaten Bone, terdapat songkok yang dulunya hanya boleh dipakai oleh darah biru saja. Kabupaten yang terdapat di Awangpone, Sulawesi Selatan itu, memiliki songkok yang bernama recca. Konon katanya, dengan songkok ini kharisma pemakainya akan terlihat. Namun seiring berjalannya waktu, semua golongan bisa mengenakan songkok peninggalan raja ini.
Songkok Recca atau yang biasa disebut Songkok Pamiring juga sering disebut songkok To Bone, ketiga sebutan ini mempunyai kisah dan waktunya masing-masing. Mulanya Songkok Recca ada ketika Raja Bone Ke-15, yaitu Arung Palakka menyerang Tanah Toraja (Tator) pada tahun 1683. Saat itu, Tentara Tator memberikan perlawanan yang sengit terhadap pasukan Arung Palakka. Alhasil, ia hanya berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Makale-Rantepao saja.
Ciri khas tentara kerajaan Bone yang cukup mencolok pada masa lalu yaitu dengan memakai sarung yang diikatkan di pinggang atau nama lainnya adalah (Mabbida atau Mappangare’ Lipa’). Selain itu, Prajurit Tator juga mempunyai kebiasaan memakai sarung tetapi diselempang yang biasa disebut (Massuleppang Lipa), sehingga saat terjadi pertempuran di malam hari berikutnya pasukan tentara jadi sulit dibedakan mana yang lawan ataupun kawan. Alasannya sederhana, baik lawan maupun kawan (prajurit Tatot ataupun Bone) masing-masing memakai sarung.
Arung Palakka, Raja Bone ke-15, menyiasatinya dengan menyusun strategi dan memerintahkan prajuritnya untuk memasang pembeda di kepala dengan memakai songkok, atau yang dikenal dengan songkok Recca. Singkat cerita, pada masa Pemerintahan Raja Bone ke-32 yaitu Lamappanyukki tahun 1931 songkok recca dijadikan kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan para punggawa-pungawa kerajaan saat itu. Hal ini bertujuan untuk membedakan tingkat kederajatan di antara mereka, maka songko’ recca akhirnya dibuat dengan pinggiran berbahankan emas atau disebut dengan (pamiring pulaweng), yang melambangkan tingkat strata atau drajatnya. Oleh karenanya, songkok recca disebut juga dengan songkok pamiring karena berlapiskan emas.
Selanjutnya, pada masa kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar, benang emas yang melingkar pada songkok pamiring ternyata memiliki makna, semakin tinggi lingkaran emasnya maka semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Dalam sejarahnya hanya Sombayya ri Gowa dan Petta Mangkaue di Bone serta raja sederajat yang berhak memakai lingkar emas tertinggi. Tinggi lingkar emas itu kira-kira hanya menyisakan 1 cm pinggiran tanpa untaian lapis emas.
Saat itu, terdapat aturan bagi pemakai songkok pamiring, di mana hanya bangsawan berkedudukan sebagai raja, anak raja yang dianggap berdarah biru (Maddara Takku), anak Mattola, boleh menggunakan songkok pamiring yang seluruhnya terbuat dari emas murni atau dalam istilah bugis Ulaweng bubbu. Adapun sebagian golongan yang disebut Arung Mattola Menre, Anak Arung Manrapi, Anak Arung Sipue dan Anakkarung boleh memakai songkok pamiring dengan lebar emas tiga-per-lima dari tinggi songkoknya.
Ada juga Golongan yang disebut Rajeng Matase, golongan ini boleh memakai songkok pamiring dengan lebar emas setengah bagian dari tinggi songkoknya. Lalu, golongan yang disebut Tau Deceng, Tau Maradeka dan Tau Sama juga diperbolehkan memakai songkok recca berpinggiran emas. Sedangkan golongan yang disebut Ata sama sekali tidak dibolehkan memakai songkok ini.
Katanya, aturan ini memiliki makna dan pesan moral yang tinggi, tentang nilai kehidupan sosial. Banyak pelajaran tentang kehidupan dari songkok ini, seperti pentingnya menghormati yang tua (yang dituakan) dan menghargai yang muda.
B. Deskripsi OCB/CB :
Ukuran songkok recca berbentuk oval dengan ukuran lebar songkok 15,5cm, dengan ukuran panjang songkok recca 18,8 cm, serta tinggi songkok recca 8,2 cm, sedangkan lingkaran emas bawah sekitar 4,8 cm, dengan ketebalan sekisar 0,2,5 ml dan Berat ± 100gram.
Selanjutnya, lingkaran emas pada bagian tengah posisi atas recca berjarak 7,7 cm, Sekitar 7,7 cm dari arah bawah, dan sekitar 6 cm dari arah samping kiri dan kanan. Motif lingkaran emas dibagian tengah recca berbentuk pusaran air
Meninjau keberadaan songkok recca saat ini, sudah banyak daerah di luar bone yang memproduksinya. Baik songkok recca, pamiring atau songkok to bone, ketiganya sama saja, hanya dibedakan oleh zaman. Alasan diberi nama songko recca adalah karena terbuat dari serat pelepah daun lontar yang dipukul-pukul atau dalam bahasa bugis yaitu: direca-reca. Pelepah daun tersebut dipukul hingga yang tersisa hanyalah seratnya saja. Serat dari pelepah daun lontar, biasanya berwarna putih, namun setelah beberapa jam kemudian warnanya akan berubah menjadi coklat, yang nantinya akan berwarna hitam.
Serat berwarna hitam tidak didapat dengan sendirinya, serat berwarna kecoklatan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukan karena sengaja diberi pewarna hitam. Seratnya sendiri ada yang halus dan ada yang kasar, kedua serat tersebut tetap digunakan dalam pembuatan songkok recca. Bedanya, hasilnya juga akan sesuai dengan serat yang dipakai. Biasanya ini akan tergantung pada selera peminatnya.
Cara menganyam serat menjadi sebuah songkok yaitu dengan menggunakan acuan atau pola- pola yang disebut assareng yang terbuat dari kayu nangka. Kemudian pola tersebut dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah songkok yang diinginkan. Assareng ini akan menjadi acuan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok recca. Sementara ukurannya akan menyesuaikan sesuai keinginan.
Songkok pamiring bukan lagi milik kaum berdarah biru, namun mereka yang tau dan mengerti akan filosofi dari songkok pamiring ini, tidak akan memakainya sembarangan. Selain menunjukkan karisma, songkok pamiring ini juga menunjukkan siapa sebenarnya orang yang memakainya. Semakin banyak hiasan emas yang menutupinya, songkok pamiring dikatakan semakin bagus. Hal ini menunjukkan tingkat prestasi pemakainya.
Songkok recca atau songkok pamiring bisa di pakai oleh siapa saja tanpa adanya kesenjangan kedudukan. Selain itu, bisa dikatakan songkok pamiring ini sebagai lambang “siapa diri kita sebenarnya”. Sehingga songkok ini juga dinamakan dengan songkok to bone yang artinya “songkoknya seluruh orang bone”, yang menandakan tidak adanya perbedaan kasta. Bukan karena asalnya saja yang berasal dari bone, tetapi juga merupakan cipta, rasa, dan karsa orang bone.
Jenis OCB : Recca Bugis (Pamiring Bone)
Dimensi : Kerajaan Islam
Lebar songkok : 15,5 cm
Panjang songkok : 18,8 cm
Tinggi Songkok : 8,2 cm
Lingkaran emas bawah : 4,8 cm
Ketebalan : 0,2,5 ml
Berat : ± 100gram
Bahan : Serat pelepah daun lontar yang dipukul-pukul
atau direca-reca. Pelepah daun tersebut dipukul
hingga yang tersisa hanyalah seratnya saja.
Serat dari pelepah daun lontar, biasanya berwarna putih, namun setelah beberapa jam kemudian warnanya akan berubah menjadi coklat, yang nantinya akan berwarna hitam.
Sifat OCB/CB : Profan / Sakral (pilih salah satu)
Bentuk Songkok Recca : Oval
Benang Jenis : Asli Benang Emas
Kondisi terkini : Cukup Baik
Nama Pemilik : Almarhum Andi Djemma
Sejarah Tokoh Pahlawan Nasional
Andi Djemma adalah Raja Luwu, Kerajaan Bugis, yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang bergabung dengan Republik Indonesia. Andi Djemma pun diangkat menjadi wedana atau pembantu pimpinan wilayah di Kolaka sampai 1923 sebelum akhirnya diangkat menjadi datu atau raja.
Masa Muda
Andi Djemma lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 15 Januari 1901. Djemma memperoleh pendidikan formal di Inlandsche School atau sekolah dasar lima tahun di Palopo. Ia lulus pada 1915. Kemudian, untuk pendidikan informalnya ia peroleh di dalam istana. Djemma sering diajak oleh sang ibu pergi menghadiri rapat-rapat adat. Sebagai seorang keturunan raja, Andi Djemma rela untuk meninggalkan segala kemewahannya. Djemma justru memilih untuk berjuang melawan penjajah di wilayahya demi kecintaannya pada Republik Indonesia. Bahkan, di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Luwu menjadi kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menyatakan bergabung dalam NKRI. Andi Djemma kemudian mendirikan Gerakan Soekarno Muda serta memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu.
Perjuangan
Pada 1919, Andi Djemma mulai terjun ke dalam bidang politik sebagai Sulewatang (kepala distrik) di Ngapa. Empat tahun setelahnya, ia dipindahkan ke Ware. Sementara menjadi Sulewatang, Andi Djemma juga ditunjuk sebagai wakil Datu Luwu. Jabatan sebagai Sulewatang ia duduki sampai tahun 1931. Beberapa tahun berselang, pada 19 Agustus 1945, Andi Djemma mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah tahu informasi tersebut, Djemma segera memerintahkan agar berita ini disebarluaskan di kalangan masyarakat. Beberapa pemuda, termasuk anaknya, Andi Makkalau, turut diperintahkan berangkat ke Makassar untuk menghubungi Dr. Ratulangie, Gubernur Sulawesi. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai perkembangan yang sedang terjadi. Pada 2 September 1945, di bawah pimpinan Andi Djemma, anggota dari Soekarno Muda, organisasi buatan Djemma, melakukan gerakan untuk merebut senjata Jepang di Palopo. Menjelang akhir September 1945, pasukan Australia yang mewakili Sekutu tiba di Sulawesi Selatan. Mereka bertugas untuk melucuti pasukan Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Pada Oktober 1945, Andi Djemma memprakarsai pertemuan para raja Sulawesi Selatan. Dalam pertemuan ini, para raja menyatakan tekad mereka untuk berdiri di belakang pemerintah RI. Sepulang dari pertemuan, Andi Djemma pun menyatakan bahwa daerah Luwu telah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Djemma juga menegaskan bawha pemerintah Luwu menolak untuk bekerja sama dengan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), pemerintahan sipil Hindia Belanda. Kemudian pada November 1945, terjadi kesepakatan antara Andi Djemma dengan komandan pasukan NICA, bahwa pasukan ini hanya bertugas untuk melucuti pasukan Jepang.
Akhir Hidup
Pada 3 Juli 1946, Andi Djemma ditangkap oleh Belanda. Ia diasingkan ke Ternate. Penangkapan ini terjadi karena Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu untuk segera melucuti tentaranya dan kembali ke barak mereka di Palopo. Ultimatum ini pun dibalas oleh Gubernur Jenderal Belanda, Van Mook dalam bentuk penangkapan atas Andi Djemma. Djemma pun meninggal pada 23 Februari 1965. Atas sumbangsihnya, Djemma pun diangkat menjadi Pahlawan Nasional melalui Surat Keppres RI No. 073/TK/2002, pada 6/11/2002.