Wednesday, Dec 18, 2019
Lokasi Rumah Leluhur Marga Thoeng, yakni di Jalan Sulawesi, kelurahan Ende, kecamatan Wajo, kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bangunan ini didirikan oleh Marga Thoeng Abadi, pada tahun 1898 dengan gaya arsitektur Cina. Bangunan ini terdiri atas dua unit, yaitu gapura dan ruang persembahyangan. Diantara gapura dan tempat persembahyangan terdapat halaman kosong yang tidak beratap. Bangunan inii didirikan sebagai penghormatan kepada arwah pemimpin dan leluhur.
Kedatangan imigran Tionghoa yang bermarga Thoeng di Makassar kurang diketahui secara pasti, namun kemunculan dan peran mereka dalam hal perdagangan dan beberapa sektor lainnya dimulai pada pertengahan abad ke-19. Menurut inskripsi tahun 1860, data orang-orang bermarga Thoeng di Makassar telah cukup banyak, Jumlah mereka lebih dari 30 orang. Mereka rupanya berasal dari empat generasi(yang ditandai dengan nama generasi Hoat/Fa, Kie/Qi[paling tidak terdapat tiga orang], Siang/Xiang[paling tidak terdapat tiga orang], Liong/Long[paling tidak terdapat dua orang]). Namun walaupun demikian, hubungan keluarga di antara mereka cukup sulit ditelusuri. Salah satu yang bisa ditelusuri seperti inskripsi pada batu nisan seorang Tionghoa bernama Tang Faren, nisan yang bertahun 1872. Sedangkan pada sumber-sumber Belanda dan Melayu, nama Tang Xiangheng (kemungkinan besar Thoeng Siang Hong) atau Thoeng Eng Tjiang, nama yang muncul pada bidang ekonomi. Tang Xiangheng merupakan putra kedua dari Tang Deling. Namanya juga muncul pada inskripsi untuk memperingatai pendirian Longxian gong bertahun 1864, ketika Tang Xiangheng menyumbangkan uang senilai 600 gulden dan bersama putranya Zhangya menyumbangkan uang senilai 1200 gulden. Termasuk ikut serta dalam restorasi Thianhou gong (sekarang Vihara Ibu Agung Bahari) pada tahun 1867. Selain nama Tang Xiangheng. Keempat nama tersebut merupakan pedagang yang cukup sukses dalam marga Thoeng. Misalnya Tang Xiangheng yang mendapatkan kekayaannya melalui pak candu. Menurut laporan 1887, dia mendirikan sebuah kongsi, Tjien Hing Djoe Bersama Nio Tek Sie, The Giok Eang, Ong Tjoe Tek dan Tjang Kong Sing. Ketiga nama yang ditulis pada awal merupakan pedagang di Makassar dan nama yang terakhir pedagang Balangnipa. Ketika perdagangan Candu dihentikan Tang Xiangheng kemudian berdagang ikan asin.
Dari kesekian orang-orang yang bermarga Thoeng nama seperti Thoeng Tjam dan Thoeng Liong Hoei (ayah dan anak) dan Thoeng Tiong Pie merupakan nama-nama yang bisa dikatakan sangat sukses pada bidang perdagangan dan politik (kemudian juga menjadi seorang Kapiten) di Makassar.
Thoeng Tjam merupakan pedagang sukses yang berdagang pada bidang pelayaran dan perdagangan hasil laut terutama teripang. Thoeng Tjam juga memiliki perusahaan yang bernama Shunfenghao, perusahaan pelayaran yang menghubungkan Makassar dengan Xiamen. Memiliki perusahaan bernama Shunyuanhao, yang memiliki cabang di Singapura dan Surabaya. Kemudian menjadi Kapiten Cina pada tahun 1893-1908. Thoeng Tiong Pie, memiliki perusahaan bernama Sen Soeng & Co. (Perusahan dan pabrik minyak Kopra) dan pada abad ke-20 menjadi salah satu pedagang terkaya di Makassar. Memiliki Yayasan bernama Tjong Tek Tong atau “ Ruang Bagi Pemujaan Kebijaksanaan” dengan memberikan banyak perobatan dan sebidang tanah yang luas di Pattingalloang. Termasuk perkuburan keluarganya di utara kota. Mengenai perkuburan keluarga Thoeng Tiong Pie, pemakaman ini merupakan perkuburan yang sangat mewah pada saat itu, memiliki taman, pavilium, danau, tanah yang luas dan sering dikunjungi oleh orang-orang dikarenakan kemewahannya. Pada perkuburan ini juga Thoeng Tiong Pie dimakamkan. Diperkirakan pemakaman ini berada disekitar wilayah Ujung Tanah sekarang. Pada tahun 1911-1916 menjadi seorang Kapiten. Thoeng Liong Hoei yang merupakan Anak dari Thoeng Tjam mengikuti jejak ayahnya sebagai pebisnis. Memiliki perusahaan bernama, N.V. Handel Mij. Ting Tjam & Co., pada tahun 1914 mengkhususkan perusahaanya pada bidang minyak tanah., Shin-ning-ling mijiao youxian gongsi atau Rijpellerij merk Keng Hong, pada pabrik penggilingan beras. Thoeng Liong Hoei juga merupakan orang pertama yang memiliki gelar Mayor di Makassar dan mungkin satu-satunya. Dalam bidang sosial dan politik Theong Liong Hoei merupakan orang yang paling sukses di Makassar.
Selain nama-nama tersebut sejumlah nama dari marga Thoeng juga tercatat sebagai Veteran, sepeti Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton), dengan NPV/No. Identitas Veteran 17.063.953, Thoeng Wan Ting (Fatimah) NPV/No. Identitas Veteran 17.039.495, Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru) NPV/No. Identitas Veteran 7.038.836, dan Thung Kan Sang NPV/No. Identitas Veteran 17.038.722.
Hal lain dari marga ini ialah marga Thoeng juga memiliki peran dalam syiar Agama Islam seperti yang dilakukan oleh Thoeng Chen Ting atau yang lebih dikenal dengan sebutan Haji Baba Guru. Haji Baba Guru biasanya mengajar baca tulis Al-Qur’an di Jalan Muchtar Lutfi atau Kampung Maluku. Putranya bernama Thoeng Tian Kiem atau Haji Faisal Thoeng, seorang pengelola pertama Stadion Mattoangin Makassar, sekaligus pendiri dan ketua pertama Pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa tahun 1970-an.
Sejarah pendirian Rumah Leluhur Marga Thoeng (Chongben Tang atau Rumah Abu Pemujaan Utama) tidak banyak diketahui, seperti halnya orang dari marga Thoeng pertama yang datang di Makassar. Lokasinya terletak di Jalan Sulawesi, dahulu Templestraat/Chinestraat/Jalan Klenteng. Menurut tradisi lisan di kalangan orang-orang Tionghoa Makassar, bangunan ini didirikan oleh marga Thoeng, pada 1898 dengan gaya arsitektur Cina pada saat Kapitan Thoeng Tjam alias Tang Heqing menjabat di tahun 1893-1908. Seperti diketahui sudah disebutkan diatas, Thoeng Tjam sendiri merupakan Tionghoa “Totok” kelahiran Fujian tahun 1845 dan kemudian tinggal di Makassar hingga meninggal tahun 1910.
Nama rumah abu ini sama dengan rumah abu induk yang berada di Desa Chunfang Distrik Changtai Keresidenan Zhangzhou, Tiongkok. Rumah abu ini mendapatkan status hukum pada 1927. Status hukum Perkumpulan Tjong Oen Tong diberikan sesuai permohonan dari Thoeng Tjoan Tjioe dan Thoeng Tiong To. Disebutkan bahwa tujuan dari perkumpulan ini ialah “membangun pendidikan moral dan intelektual serta beramal bagi anggota-anggota marga”.
Bangunan ini terdiri atas dua unit, yaitu gapura dan ruang persembahyangan. Di antara gapura dan tempat persembahyangan, terdapat halaman kosong yang tidak beratap. Pada bagian altar pemujaan yang berada tepat ditengah bangunan utama tersusun nama-nama leluhur yang terbuat dari kayu. Pada tahun 1945, pada masa pendudukan Jepang, pada bagian depan bangunan ini terkena bom Perang Dunia ke-II dan kemudian direnovasi. Selain hal itu kemudian pada tahun-tahun berikutnya di pintu masuk juga telah dipotong akibat pelebaran jalan. Bangunan ini memiliki luas 105 meter persegi dan lahan seluas 275 meter persegi, bergaya arsitektur China/Tiongkok. Bangunan yang didirikan sebagai penghormatan kepada arwah pemimpin dan leluhur Marga Thoeng ini kini berada dibawah naungan Yayasan Marga Thoeng.
SUMBER