Wednesday, Dec 18, 2019
Kedatang awal Orang-orang Tionghoa, khususnya yang mermarga Nio diperkirakan datang sekitar abad ke-17. Tercatat imigran awal Keluarga Nio di Makassar bernama Nio Pokong yang keturunannya masih bisa ditelusuri hingga abad ke-20. Keluarga Nio merupakan salah satu keluarga yang memiliki pernanan yang menonjol dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Makassar. Terdapat banyak dari keluarga mereka yang menjadi Kapitan, dimulai dari Oey Nyeeko pada tahun 1800?-1808 hingga Nio Eng Boe tahun 1916-1921, walaupun kepemimpinan dari keluarga mereka masih diselingi dan digantikan oleh beberapa keluarga lain pada selang waktu tersebut. Selain sosial-politik dalam bidang ekonomi di keluarga ini merupakan salah satu keluarga yang kaya, dengan kepemilikan kapal seperti Nio Sengkong, Nio Phanlong dalam perdagangan, Nio Eng Boe dalam sistem pak dan cukai perdagangan. Terdapat pula beberapa nahkoda kapal yang berasal dari keluarga ini, seperti Nio Hong Seeng, Nio Kikong, Nio Seeng Kong, dan Nio Kiang Seeng yang merupakan keturanan dari Nio Pokong.
Kedatangan mereka di Makassar (termasuk imigran Tionghoa di Hindia Belanda) dan dalam perkembangannya, menjelang abad ke-18, peranakan tionghoa Hindia Belanda mengkhawatirkan terjadinya “indonesiasasi” atau bahkan islamisasi adat-istiadat leluhur mereka, terutama pernikahan dan pemakaman. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah pernikahan antara etnis Tionghoa dan Melayu. Makassar sendiri bisa dilihat dari adanya muslim tionghoa yang biasa disebut “Inje dan Anjte (berarti Paman dan Bibi atau Tante, istilah yang digunakan juga dalam bahasa melayu) atau Baba yang diambil dari bahasa persia”. Untuk itu mereka menghidupkan kembali tradisi Tionghoa mereka. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan rumah-rumah abu yang digunakan oleh para anggota atau marga yang bersangkutan bahkan terdapat pula rumah abu yang didirikan untuk penghormatan bersama, khususnya di Jawa. Mereka mendirikan rumah abu pada Abad ke-18 dan di Makassar sendiri baru dimulai setelahnya.
Pada Abad ke-19 di Makassar didirikan rumah abu pertama, rumah abu ini didirikan oleh Nio Sengtjiang (Tjinsioe) keturunan dari Nio Po Kong dengan nama Liangshi Citang atau Hong Tjiang Kongsie saat baru diangkat menjadi letnan. Namun, berdasarkan inskripsi pendirian rumah abu ini, pendirian rumah abu ini didirikan secara bersama-sama. Dalam inskripsi pendirian rumah ini, didasarkan pada ajaran Konfusianis Zhu Bolu (1627-1698), “leluhur kita patut puja” (Zhu Bolu tetap dikenal berkat buku kecil berjudul Zhuzi Jiaxun atau Instruksi Keluarga dari Guru Zhu yang menjadi panduan keluarga).
Rumah abu ini merupakan rumah abu pertama di Makassar yang didirikan pada tahun 1855, di bekas rumah Nio Po Kong di templestraat atau di Jalan Sulawesi sekarang. Tetapi menurut beberapa informasi, rumah leluhur Famili Nio telah ada sejak pertengahan abad ke-18 atau sekitar tahun 1750-an, dibangun pertama kali oleh pemiliknya Keluarga Nio. Rumah abu Nio atau Liangshi Citang ketika didaftarkan kepada Pemerintah Hindia Belanda, menggunakan nama Hong Tjiang Kongsie atau Perkumpulan Hong Tjiang. Hong Tjiang adalah nama desa yang menjadi bagian dari Distrik Tong’an, daerah Quanzhou (Fujian), yang merupakan tempat asal Keluarga Nio.
Keputusan mengenai perkumpulan dan status hukumnya seperti anggaran dasar hanya disusun pada tahun 1876 (tetapi status hukumnya sudah ada tahun 1870 berdasarkan keputusan tertanggal 28 Maret 1870 dan termuat dalam Staatsblaad no.123, tanggal 28 April 1876), saat Kapiten Nio Thek Hoe (menduduki jabatan 1864-1876), menjadi kepala perkumpulan dan Tjin Sieo serta Kae Hien menjabat sebagai bendahara dan sekertaris. Nio Thek Hoe dikenal sebagai seorang yang penuh tenaga dalam menghidupkan kembali Kebudayaan Tionghoa dan memerangi pengaruh Islam pada masyarakat etnis Tionghoa Makassar. Perlu diketahui juga ketika salah seorang keturunan Marga Nio menjabat sebagai Kapiten, Kapiten Nio Tek Hoe. Kapiten Nio Tek Hoe menerapkan sejumlah peraturan yang bisa dianggap sebagai upaya menahan masuknya ibadah agama luar dalam masyarakat mereka, hal ini merupakan hal yang kontroversial jika dilihat dalam kontkes kacamata sekarang. Hal ini bisa dilihat dari sebuah artikel yang diterbitkan oleh Pemberita Makassar yang terbit tahun 1923 yang ditulis oleh “Soehonji” sebagai nama samara penulis. Dalam artikel tersebut disebutkan Kapiten Nio Tek Hoe menerapkan pelarangan bagi keluarga Tionghoa peranakan muslim untuk mengkuburkan keluarga mereka di perkuburan tionghoa. Hal ini mengakibatkan pemisahan mereka dari keleuarganya. Larangan ini membuat banyak diantara peranakan yang mengganti kepercayaan mereka. Namun demikian mereka masih menjalan sejumlah kebiasaan mereka seperti, selamatan, bersedekah dan berpuasa. Sedangkan bagi yang masih mempertahankan kepercayaannya, mereka kemudian berbaur dengan masyarakat Makassar. Patut dicatat juga dalam perkambagan kemudian keturanan dari keluarga ini mulai berbaur antara muslim dan lainnya. Seperti perkuburan muslim Tionghoa yang telah berada di satu kompleks pemakaman Tionghoa lainnya di Kota Makassar.
Anggaran dasar perkumpulan mengatur mengenai peraturan anggota, termasuk untuk masuk sebagai anggota dan mengeluarkan anggota, iuran tahunan, bantuan untuk anggota, persembahyangan dan keluarga. Pengelola dan penanggung jawabnya merupakan keturunan dari Famili Nio, namun kemudian dilimpahkan kepada Yayasan Famili Nio.
Bangunan dari rumah abu ini berbentuk persegi panjang dengan altar penghormatan yang berada di ujung dalam bagian bangunan ini. Pada bagian bangunan ini terdapat meja altar dan tempat untuk menyimpan atau meletakkan papan-papan nama leluhur mereka yang telah meninggal. Sebelumnya rumah abu ini juga masih menyimpan abu dari kremasi leluhur mereka namun sekarang abu tersebut telah dilarung ke laut, setelah melakukan rangkaian prosesi penghormatan.
Bagian lain dari Bangunan ini, terdapat ruangan aula yang cukup luas dan bisa menampung cukup banyak orang, serta bagian atap yang terbuka untuk membakar dan prosesi sembahyang maupun penghormatan meraka. Pada bagian kiri dan kanan ruang terbuka tersebut terdapat serambi yang menghubungkan bangunan depan dan belakang. Bangunan depan rumah abu ini memiliki bagian yang berlantai dua, yang diatasnya mungkin diperkirakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang ataupun sebagainya. Bangunan ini telah beberapa kali mengalami renovasi atau perbaikan seperti di tahun 1985 dan pada tahun 2018 yang mengubah sedikit bagian bentuk struktur atap.
Sumber