Wednesday, Dec 18, 2019
Dahulu, Empress Hotel merupakan salah satu hotel terbesar di masanya. Bangunan Hotel didirikan pada tahun 1930-an. Dalam buku 'Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar' karya Ferry Wiryawan, disebutkan bahwa Hotel Empress dibangun oleh Thoeng Liong Hoei, adalah salah seorang hartawan Tionghoa di Makassar. Berkat kedermawanan dan dapat berkerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda,Thoeng Liong Hoei diangkat sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa di Makassar oleh Ratu Wilhelmina. Atas apresiasi penghargaan ini maka beliau diberi gelar Mayor tituler pada 30 September 1936. Namun, ada dua pendapat mengenai pendirian dan kepemilikan hotel, pertama bahwa Empress Hotel didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei. Sementara pendapat kedua adalah bahwa hotel ini memang didirikan oleh Mayor Thoeng dan dikelola oleh keluarga 183 mereka. Pada tahun 1942 setelah tentara Jepang menganeksasi dan tiba di Kota Makassar, tindakan pertama yang dilakukan adalah menyingkirkan pihak-pihak yang setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Petaka bagi keluarga besar Mayor Thoeng karena selama ini sangat setia ke Ratu Wilhelmina dan menolak untuk tunduk kepada Kaisar Jepang. Bersama beberapa keluarga mereka mengungsi ke pinggiran Utara Kota Makassar di sekitar daerah Tallo, namun tentara Jepang dapat menelusuri keberadaan mereka. Mayor Thoeng Liong Hoei bersama keempat anak dan seorang menantu dieksekusi mati pada 19 April 1942. Di masa Pemerintahan Jepang gedung ini masih berfungsi sebagai hotel tanpa ada perubahan nama,Empress Hotel. Setelah kekalahan Jepang, Empress Hotel masih mempertahankan identitas dan peran sebagai tempat penginapan. Dan sejarah panjang terus menyertai keberadaannya. Pada 19 Agustus 1945, Gubernur Sulawesi Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie atau lebih dikenal Sam Ratulangi mendarat di Lapangan Terbang Sapiria, Bulukumba. Sam Ratulangie tiba di Makassar dan menginap di Empress Hotel selama sepekan bersama rombongan. Sam Ratulangie sendiri memilih menempati kamar no. 1. Selama menginap di hotel,konon menggunakan dana pribadi. Empress Hotel menjadi saksi bisu akan aktifitas politik dan birokrasi Sam Ratulangie. Beliau bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat Sulawesi Selatan guna membahas penyusunan pemerintahan di Sulawesi.Di antara tokoh yang dihimpun oleh Sam Ratulangie ialah Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo,Andi Zainal Abidin (ketiganya dari Sulawesi Selatan), W.S.T.Pondaag (Sulawesi Utara), Josef Latumahina (Maluku), I. P. L. Tobing (Sumatera) dan Soewarno (Jawa). Pada tahun 1942 setelah tentara Jepang menganeksasi dan tiba di Kota Makassar, tindakan pertama yang dilakukan adalah menyingkirkan pihak-pihak yang setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Petaka bagi keluarga besar Mayor Thoeng karena selama ini sangat setia ke Ratu Wilhelmina dan menolak untuk tunduk kepada Kaisar Jepang. Bersama beberapa keluarga mereka mengungsi ke pinggiran Utara Kota Makassar di sekitar daerah Tallo, namun tentara Jepang dapat menelusuri keberadaan mereka. Mayor Thoeng Liong Hoei bersama keempat anak dan seorang menantu dieksekusi mati pada 19 April 1942. Di masa Pemerintahan Jepang gedung ini masih berfungsi sebagai hotel tanpa ada perubahan nama,Empress Hotel. Beliau bertugas di Makassar selama enam bulan dan hanya sempat menanamkan dasar-dasar birokrasi sebagai modal awal pemerintahan di Propinsi Sulawesi. Sam Ratulangie membahas dan mengorganisir strategi perjuangan yang diawali dengan penyebaran berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Lalu berupaya memberikan kesadaran akan pentingnya nilai dan makna kemerdekaan serta mempertahankannya terutama melalui wadah organisasi Pusat Keamanan Rakyat (PKR). Tanggal 27 Agustus 1945, Sanusi Daeng Mattata dan Andi Makkulau menemui Sam Ratulangie di Empress Hotel. Dalam pertemuan itu Sam Ratulangie menyatakan beberapa hal, seperti penyebaran informasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh nusantara oleh Soekarno, penetapan konstitusi negara, penetapan presiden dan wakil presiden,dan pemerintahan,Pada 21 September 1945 Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA) atau Netherlands-Indies Civiele Administration (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) mendarat di Makassar.NICA langsung bergerak bersama pasukan sekutu membebaskan tawanan, menghimpun dan menghubungi raja-raja lokal di Sulawesi Selatan untuk menerima kembali Pemerintahan Hindia Belanda. Hal itu menimbulkan protes oleh pemuda dan penduduk yang pro-republik di Makassar pada tanggal 27 November 1945 dengan aksi pengibaran bendera Merah Putih. Selanjutnya NICA terus melakukan upaya 'pemulihan kembali' struktur pemerintahan kolonial lama di wilayah bekas Gouvernement Van Celebes, termasuk Makassar. NICA menempati Empress Hotel sebagai pusat kendali pemerintahan di Sulawesi Selatan dan mendatangkan pasukan dari Manado untuk memperkuat pos-pos keamanan. Penggunaan Hotel Empress sebagai markas dikarenakan saat itu perekonomian, sektor transportasi, dan fasilitas pendukung perekonomian lainnya tidak tersedia akibat kurangnya perawatan atas prasarana lama, praktis tidak ada pembangunan fasilitas baru, termasuk efek dari perang dunia kedua di Makassar. Sementara itu tanggung jawab keamanan masih dipegang oleh komandan pasukan Australia sebagai tentara pendudukan hingga 25 Mei 1946. Di suatu pagi buta, golongan pemuda yang telah membentuk laskar melakukan perlawanan dan penyerangan ke markas NICA di Empress Hotel dan berhasil menduduki hotel tersebut. Termasuk penyerangan di beberapa tempat, seperti ; Stadion Merdekayya, Stadion Radio Mattoanging dan Hazo Kiyoku. Khusus Empress Hotel pemuda juga berupaya menaikkan bendera Merah Putih di atas gedung komandan NICA (CONICA, Comandant Oficer-NICA) untuk menggantikan bendera Belanda. Namun aksi tersebut mengalami kegagalan. Belum sempat konsolidasi pasukan, sekitar pukul 10.00 tentara Australia serentak bertindak melakukan penangkapan dan 189 melucuti senjata yang dirampas. Setelah menjadi markas NICA, Empress Hotel tidak pernah lagi menjadi hunian hotel, melainkan menjadi markas dan tempat tinggal atau Losmen bagi tentara, Markas NICA kemudian menjadi Markas Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sebelum diambil alih oleh keluarga Hadji Kalla seorang hartawan Bugis Bone melalui Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Islam Hadji Kalla. Perubahan alih gedung Empress Hotel ke pihak Yayasan disebutkan bahwa telah terjadi kesepakatan dengan cara ruislag atau tukar guling antara pihak Yayasan dengan AURI. Yayasan berhak atas gedung beserta tanah sedangkan AURI diberikan dan dibangunkan markas baru yang kini jadi markas AURI di daerah Daya. Gedung sekolah Athirah berdiri sejak dan diresmikan pada tanggal 24 April 1984. Sekolah yang terdiri dari Taman KanakKanak hingga Sekolah Menengah Atas ini beroperasi pada tahun ajaran 1985/1986. Sebelum gedung sekolah didirikan tadinya diorientasikan untuk pendirian hotel, mungkin mengembalikan fungsi awalnya sebagai lokasi dan gedung hotel. Namun karena keinginan kuat dari Hadji Kalla dan istri,Hj.Athirah untuk berperan aktif dalam pendidikan, melalui Yayasan yang sebelumnya didirikan pada tanggal 9 September 1981, maka didirikan sekolah di lokasi tersebut. Penamaan Athirah sendiri terinspirasi dari sosok Ibu Hj. Athirah. Penamaan ini bukan hanya sekedar wujud kasih saying tetapi Athirah bermakna wangi atau harum, sehingga bisa menjadi spirit bagai civitas akademika dalam prestasi dan attitude. Kini sudah tidak ada lagi jejak keberadaan gedung Empress Hotel.Gedung awal sekolah pun hanya meninggalkan bagian belakang gedung sebelah Selatan. Masih sebuah ironi bagi bangunan tinggalan masa lalu,tidak dapat bertahan dari gerusan waktu.
Jl. Kajaolalido No. 22 atau Komedie laan.