Wednesday, Dec 18, 2019
Marga berasal dari kebudayaan Han. Marga menunjukkan identitas seseorang yang diletakkan di depan nama. Marga memiliki dua karakter, yaitu xing (yang muncul sekitar 6.000 tahun yang lalu) dan shi (muncul pada masa pemerintahan Huangdi/Yellow Emperor). Seiring semakin kompleksnya struktur sosial masyarakat, kemudian xing merujuk kepada marga, sedangkan shi merujuk kepada klan (marga kecil). Sistem marga dalam keluarga etris Cina didasarkan pada asal usul keturunan dari leluhur yang sama. Satu marga bisa dibagi atas beberapa klan menurut garis keturunan yang berbeda.
Kedatangan awal dari imigran Tionghoa yang bermarga Lie/Lee/Lim belum bisa ditentukan secara pasti kapan mereka pertama datang ke Makassar. Namun berdasarkan cacatan sejarah yang bisa dirujuk, imigran pertama yang disebut ialah Lijauko(Li Ruzhang), walaupun dalam silsilah marga Lie namanya tidak ada ditemukan, dilihat dari nama generasinya jelas Li Ruzhang berasal dari keluarga ini. Li Ruzhang merupakan Kapitan pada tahun 1738-1748/1749. Li Ruzhang juga dikenal sebagai orang yang merenovasi Tianhou Gong(sekarang Vihara Ibu Agung Bahari) bahkan disebut sebagai salah satu orang yang mendirikan Vihara tersebut. Disebut pula seorang Kapiten bernama Limtjanko (Lim Tjanghing) yang menjabat pada tahun 1809-1817?.
Sama halnya Marga Thoeng, Marga Lie juga merupakan keluarga elite yang berada di Makassar dan mulai berkembang di abad ke-19. Berdasarkan penelitian Javasche Courant antara tahun 1884-1889 mereka mendirikan setidaknya enam perusahaan di anatara kerabat yang mayoritaas merupakan anggota keluarga. Seperti pada tanggal 7 Juli 1884 Kapiten Lie An Djiang bersama dengan putranya Lie Leang Hie dan besannya Kwee Siong Pie mendirikan perusahaan bernama Lie Tjen Yan & Co.. Lie An Djiang memiliki tanah di Malimongan dengan nilai pajak mencapai 14.000 gulden. Kemudian hadi Kongsie Eng Djoe Hien yang terdaftar di Makassar pada tanggal 4 Februari 1887 di notaris H. F. F. Hultman, yang terdiri dari tiga anggota keluaga Lie, Lie Boen Yat (Manado), Lie Goan Tjiong dan Lie Soe Ping (Makassar). Perusahaan yang paling dikenal hingga sekarang dan masih beroperasi jika dilihat dari nama permilikinya adalah Minyak Gosok Cap Tawon. Perusahaan ini dimiliki oleh orang Tionghoa ahli obat bernama Lie A Liat, yang berasal dari suku Hakka asal dari daerah Huizhou, Guangdong. Dia datang ke Makassar untuk membuka Toko Obat dengan Nama Boo Leong, toko ini terletak di templestraat No. 31.
Beberapa keluarga Tionghoa Makassar yang tetap merawat warisan budaya, seperti Keluarga Lie, memainkan pernanan penting dalam proses kembali akar. Dalam bidang Pendidikan, sekolah Tionghoa modern pertama, bernama Tiong Hoa Hak Tong (THHT) atau Zhonghua xuetang didirikan pada tahun 1900. Pendirian sekolah ini atas inisiatif Lie Leang Hie (Li Lianxi) direktur dari perusahaan Eng Goan dan merupakan Putra dari Kapitan Tionghoa Makassar, Lie Eng Djian (Li Anran, menjabat tahun 1879-1888).
Rumah Leluhur Marga Lie (Lishi Jiamiao/Eng Djoe Tong/Wisma Sejahtera), Makassar. Rumah Leluhur ini berada di Jalan Sulawesi, dahulu Templestraat/Chinestraat/Jalan Klenteng depan dari Vihara Ibu Agung Bahari. Menurut Inskripsi tahun 1888, bagunan ini didirikan setelah meninggalnya mantan Kapiten Lie Siauw Teak pada 1885 yang menjabat jadi Kapitan 1837?-1842/1843?. Rumah abu ini didirikan di dalam luas rumah beliau (Rumah abu juga menjadi bagian dari ciri fisik dan insitusi agama Konghucu). Lie Siauw Teak diduga bukanlah imigran pertama di Makassar, tapi dia merupakan seorang yang sukses dan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari Pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas pekuburan tua yang saat itu mulai terlalu kecil. Pekuburan baru ini kemudian diberi nama Sintiong atau “kuburan baru”. Lie Siauw Teak memiliki dua Putra, yaitu Sanliang dan Dongyi yang meninggal sangat muda dan dua putri, Xingniang dan Heniang. Dia kemudian mengadopsi dua putra dari adiknya, yaitu Min Gong dari Tiongkok, Shanshu dan Shanjia (yang kurang diketahui). Di masa awal pendiriannya, rumah abu ini hanya memiliki tiga nama yang diketahui, yaitu Lie Boen Yat, Li Tianju dan Li Shanjia, yang diantara mereka memiliki hubungan keluarga berbeda-beda dan menandakan bahwa terdapat beberapa cabang keluarga yang hanya sebagian namanya muncul dalam silsilah Marga Lie. Tidak mudah untuk menyusun silsilah Marga Lie di Makassar.
Rumah Abu ini memiliki status hukum pada tahun 1886, di saat bangunan yang terletak di belakang rumah abu lalu dijadikan sebagai sekolah swasta yang bernama Zuanxu zhi xuan atau Wisma Warisan. Status hukum ini diterbitkan dalam Staatsblad 1886 No.. 64 .. Berdasarkan status hukum tersebut perkumpulan ini bernama Eng Djoe Tong Makassar. Memiliki Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga terdiri 48 pasal yang berlaku sejak tanggal 27 Desember 1897. Pada masa itu Perkumpulan ini diketuai oleh Lie Leang Hie(putra dari Lie An Djiang), sekertarisnya bernama Lie Tjing Hien dan bendahara bernama Lie Tjoen Tat.
Mengenai bangunan sekolah berdiri di atas bagian tanah yang merupakan lanjutan dari kuburan keluarga. Inskripsi tahun 1886 memperingati pendirian rumah abu, sekolah dan kuburan yang didirikan oleh keponakan dari Lie Siauw Tek, Kapitan Lie An Djiang (jabatan 1880-1887). Namun, inskripsi ini kemudian hilang. Pada inskripsi yang hilang tersebut, juga memberikan informasi mengenai daftar donatur perkumpulan ini, dimana ada 16 anggota yang memberikan donasi yang mulai dari 250 sampai 3000 gulden. Hal ini bisa menggambarkan bahwa Marga/Keluarga Lie cukup sejahtera pada saat itu. Peraturan perkumpulan ini hampir sama dengan Keluarga Nio, mengatur mengenai peraturan anggota (hanya beranggota para pria keluarga Lie yang berada di Makassar), termasuk untuk masuk sebagai anggota dan mengeluarkan anggota, iuran tahunan, bantuan untuk anggota, persembahyangan dan keluarga, hanya saja Keluarga Lie lebih ketat, termasuk adanya denda jika berpakaian tidak pantas saat beribadah, papan nama yang tidak boleh diletakkan di rumah abu. Untuk penyimpanan papan roh/leluhur atau kerabat di rumah abu ini, dapat dilakukan setelah mengajukan permohonan. Kita bisa melihat pengelola rumah abu memiliki wewenang menjalankan kontrol sosial dan moral yang cukup tegas para anggotanya.
Bangunan rumah leluhur ini hampir sama dengan rrumah leluhur yang berada di Jalan Sulawesi, Rumah Leluhr Marga Thoeng dan Famili Nio, struktur bangunan berdenah persegi panjang, terdiri dari gerbang dan bangunan utama. pada bagian antara bangunan utama dan gerbang terdapat halaman kosong yang tidak beratap. Pada bangunan utama terdapat altar yang digunakan sebagai penyimpanan papan roh dari nama-nama dari leluhur dari keluarga ini.
Di Indonesia terdapat setidaknya delapan Perkumpulan Keluarga Lie yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, di antara lain di Makassar, Surabaya, Medan, Semarang, Pekanbaru, Batam, Pontianak, dan Padang. Pada dasarnya secara struktural masing-masing perkumpulan bersif,at independen dan tidak merupakan cabang di antaranya. Meskipun bersifat independen, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu diadakan pertemuan antar perkumpulan Keluarga Lie yang ada di Indonesia dan Perkumpulan Keluarga Lie sedunia.
SUMBER
Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar. PT. Gramedia. Jakarta. 2013.
Erniwati, Hendra Naldi, dan Najmi. Etnis Tionghoa Padang: Identitas dalam Dinamika Lokal dan Perubahan Politik (Kolonial Hingga Reformasi). Laporan Akhir Penelitian Sosial, Humaniora dan Pendidikan. Universitas Negeri Padang. Padang. 2017.