Wednesday, Dec 18, 2019
Kemunculan orang-orang Tionghoa khususnya bermarga Thoeng sebagai tokoh penting, diperkirakan mulai berkembang sejak abad ke-19. Sejarah keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei di mulai dari Ayahnya yang bernama Thoeng Tjam (dalam sumber Belanda kadang juga disebut Thoeng Siang Tjam, dalam sumber Tionghoa, Tang Heqing) yang berasal dari Changtai, Fujian. Thoeng Tjam tiba dari Fujian di Makassar pada tahun 1845. Thoeng Tjam merupakan seorang hartawan dan Ppengusaha, memiiliki Tanah di Baraja serta Galesong dengan luas 30.000 m2, termasuk sebuah desa, kebun-kebun dan padang rumput serta persawahan. Mendirikan perusahaan bernama Shunfenghao, perusahaan pelayaran yang menghubungkan Makassar dengan Xiamen. Memiliki juga perusahaan bernama Shunyuanhao, yang memiliki cabang di Singapura dan Surabaya. Termasuk perdagangan hasil laut termasuk teripang sebagai pengusaha yang sukses akhirnya Thoeng Tjam kemudian menjadi seorang Kapitan pada tahun 1893-1908. Sebuah jabatan diharapkan untuk memimpin masyarakat Tionghoa, dan untuk menjamin ketertiban dan ketenangan. Termasuk ada peran dalam administrasi peradilan, status sipil, dan pembayaran pajak kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain pada bidang perekonomian, Thoeng Tjam juga terlibat dalam bidang kemanusian, seperti pemberian donasi ke klenteng Qingyuan zhenjun miao di Singapura dan pendirian sekolah, bantuan ke tanah kelahirannya di tiongkok, terlibat dalam perbaikan klenteng di Makassar, serta pendirian sekolah dan juga ikut andil dalam pendirian rumah abu Marga Thoeng di Makassar. Selain itu Thoeng Tjam juga terlibat dalam pendirian Kamar Dagang Tionghoa di Makassar, Tiong Hwa Siang Hwee atau Siang Hwee dan menjadi Ketua Kehormatan, termasuk nantinya Thoeng Liong Hoei yang menjadi anggota Organisasi ini. Thoeng Tjam meniti awal karirnya dari tukang loper koran. Pada usia 13 tahun, ia menjual tembakau dan kemudian bekerja di toko ikan, yang kemudian Thoeng Tjam ambil alih. Kapiten Thoeng Tjam memiliki tiga orang putri dan satu orang putra bernama Thoeng Liong Hoei, yang kemudian menjadi seorang Kapitan, kemudian menjadi Mayor dan mengkuti jejaknya menjadi pengusaha dan hartawan di Makassar.
Mayor Thoeng Liong Hoei lahir di Makassar pada tanggal 5 Juni 1873 dan merupakan seorang kapitan, pemimpin komunitas Tionghoa di Makassar. Karir Thoeng Liong Hoei sudah mulai terlihat ketika namanya terdapat di dalam inskripsi akhir abad ke-19. Hal ini menunjukkan Thoeng Liong Hoei telah menduduki jabatan yang cukup penting pada saat itu. Sebelum menjadi Kapiten pada tahun 1908, dalam tahun 1899 Thoeng Liong Hoei telah diangkat menjadi Adviseur dari Zee-en Boedekamer(penasehat pada balai kelautan dan perkebunan) dengan pangkat Letnan. Diangkat menjadi Kapiten pada tahun 1908 dan kemudian digantikan oleh Kapiten Thoeng Tiong Pie dan kemudian menjadi waarnemend (pelaksana jabatan) Kapiten lagi pada Tahun 1921. Mayor Thoeng Liong Hoei merupakan salah satu hartawan, pengusaha dan kapiten Tionghoa di Makassar, dan mulai menggunakan gelar Mayor pada tahun 1926 ketika masih menjabat sebagai Kapiten. Gelar Mayor ini diberikan oleh pihak Belanda, dikarenakan suatu hal,misalnya dalam hal kerjasama maupun hal pengaruhnya. Gelar Mayor ini merupakan gelar Mayor pertama di Makassar, sehingga Thoeng Liong Hoei meiliki ikatan yang kuat dengan Pemerintah Hindia Belanda. Berkat kerjasamanya dengan Belanda Mayor Thoeng Liong Hoei menjadi salah satu orang yang sukses pada bidang ekonomi di Makassar.
Pada bidang sosial, Thoeng Liong Hoei menjadi pelindung perkumpulan musik orang Tionghoa perantauan, Hwa Kiauw Im Gak Hwee yang didirikan sekitar tahun 1928. Perkumpulan ini melakukan pertunjukkan musik saat upacara di klenteng atau kesemptan lainnya. Memberikan sumbangan 1000 gulden untuk sekolah Tionghoa di Makassar, Tiong Hoa Hak Tong. Bantuan dukungan pembiayaan terhadap Pen Li School, sebuah sekolah yang didirikan oleh Yan Zhiyun. Dukungan lainnya untuk sekolah ini ialah pemberian sebuah bangunan sekolah.
Pada saat Perayaan Ulang Tahun Chiang Kai Chek, Thoeng Liong Hoei juga mengirim sumbangan dan menduduki peringkat pertama sebagai penyumbang terbesar. Dikarenakan kemurahan hatinya dan sumbangan-sumbangan lainnya, Thoeng Liong Hoei mendapatkan bintang penghargaan “Perhargaan Giok” sebagai tanda kehormatan pada tanggal 10 Oktober 1936 dari pemerintah Tiongkok. Pada tahun sebelumnya, tahun 1923 tanggal 6 Oktober Mayor Thoeng Liong Hoei mendapat tongkat emas dari Ratu Kerajaan Belanda, Ratu Wilhelmina. Pada tahun selanjutnya, tanggal 31 Agustus 1924 Mayor Thoeng Liong Hoei dianugerahi bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau (Ksatria Orde Singa Belanda) dari Kerajaan Belanda. Setelah pemberian-pemberian gelar ini, Thoeng Liong Hoei kemudian mendapat gelar Mayor (Gelar Mayor diperuntukkan bagi para pemimpin kota-kota terbesar di Hindia-Belanda, seperti Batavia dan Surabaya) dan kemudian memiliki kewenangan dan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya, seperti dalam hal administrasi perdagangan setempat.
Walaupun penghargaan dan pencapaian yang didapatkan oleh Mayor Thoeng Liong Hoei yang bisa dikatakan sangat cemerlang, hal itu tidak terlepas dari sebuah kritikan. Pada tahun 1932 sebuah artikel ditulis oleh H.(kemungkinan besar Huang Sung Chie) pada Pemberita Makassar, “Penghapoesan Instituut Tionghoa. Bagaimana Sikepnja bangsa Tionghoa di Makassar?”. Artikel ini mengkritik mengenai keberadaan Kaapiten dan Mayor di Makassar. Kepercayaan terhadap tidak efektifknya jabatan tersebut dalam menyelesaikan masalah yang dialami oleh orang Tionghoa terhadap pemerintah. Penulis juga mengatakan bahwa keberadaan Kapiten dan Mayor hanya nama saja, dikarenakan permasalahan yang orang Tionghoa diurus sendiri tanpa diketahui oleh Kapitan dan Mayor. Penulis juga mengatakan masyakarakat Tionghoa menyetujui rencana pemerintah mengenai penghapusan sistem ini dan digantikan dengan wijkmeester atau kepala lingkungan, yang dipilih langsung oleh masyarakat bukan ditunjuk langsung oleh pemerintah. Namun pada akhirnya jabatan itu masih tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda, namun hanya sebagai gelar kehormatan. Tetapi selain hal itu artikel lain menyatakan masyarakat Tionghoa merasa Bangga karena pemimpin mereka dipuji oleh Pemerintah Tiongkok dan Belanda, terutama bantuannya dalam bidang ekonomi. Dalam perayaan 15 tahun jabatan Mayor Thoeng Liong Hoei, Pemberita Makassar tanpa ragu memberikan tanda kehormatan kepadanya dengan dimuatnya sebuah artikel dari Huang Sung Chie(HSC). Dalam artikel ini juga disebut bahwa “Mayor Thoeng Liong Hoei ialah seorang dermawan, setiap tahun imlek, Mayor Thoeng Liong Hoei selalu memberikan beras kepada orang miskin, uang kepada orang yang melarat, dan memberikan peti mati kepada orang Tionghoa miskin yang meninggal dunia dan sejumlah penghargaan yang didapatkannya selama berkarir.
Thoeng Liong Hoei juga merupakan hartawan dan pengusaha yang sukses. Thoeng Liong Hoei memiliki tanah yang sangat luas. Seorang pemimpin perusahaan bernama, N.V. Handel Mij. Ting Tjam & Co. yang terletak di Passarstraat kini Jalan Nusantara. Pada tahun 1914 perusahaanya mengkhususkan diri dalam perdagangan minyak tanah. Pada bulan Februari 1914, Thoeng Liong Hoei berencana mengubah salah satu rumahnya menjadi sebauh Hotel, dan pada tahun 1938, sebuah iklan penginapan pada koran di Pulau Jawa atas nama Thoeng Liong Hoei yang bernama Empress Hotel. Hotel ini baru didirikan oleh Thoeng Liong Hoei di Makassar.
Pada tahun 1934, Thoeng Liong Hoei bekerjasama dengan Gengfeng(Keng Hong) mijiao gongsi yang (sebuah perusahan yang didirikan oleh orang Tionghoa totok yang berasal dari Fujian dan mengkhususkan dalam bidang penggilingan beras) dan membentuk perusahaan terbatas yang baru, Shin-ning-ling mijiao youxian gongsi atau Rijpellerij merk Keng Hong di Sidenreng. Namun kantor perusahan berada di Prauwenhaven, Makassar. Pada tahun 1939, firma ini memiliki tidak kurang dari 15 unit penggilingan, hanya untuk daerah Makassar dan Sidenreng. Hingga setelah Perang Dunia Kedua perusahaan ini masih bisa ditemukan dan beralamat di Jalan Pelabuhan No. 140.
Pada Tahun 1941 diadakan perayaan yubileum 15 tahun “jabatan simbolik” mayor. Hal ini menjelaskan keinginan Penguasa Jepang untuk menyingkirkan Mayor Thoeng Liong Hoei dikarenakan pengaruhnya yang cukup besar di Makassar. Dikarenakan pengaruh yang cukup besar, kemudian pihak Jepang menangkap Mayor Thoeng Liong Hoei. Mayor Thoeng Liong Hoei kemudian mengungsi ke Tallo dengan seluruh Keluarganya. Namun pihak Jepang menangkapnya di daerah itu beserta ketiga putranya, Thoeng Kok Sang, Thoeng Kok Tjien, Thoeng Kok Tjeng dan anak tertuanya, Thoeng Kok Leang yang ditangkap di Sungguminasa. Pada tanggal 19 April 1942 tengah Malam, atas perintah dari Wakil Laksamana Mori, Mayor Thoeng Liong Hoei bersama keempat anaknya, serta menantu, Tan Hong Teng, meninggal sebagai korban (beberapa literaturnya menyebutnya dipenggal, termasuk juga ditembak) bersama dengan wartawan, Lie Mo Tjeng dan sekertari Kuomintang, Lie Tjie Hong. Menurut beberapa Informasi tempat eksekusi terjadi di dekat Jembatan Kembar sekarang dan informasi lainnya berada di sebuah kuburan tak bertanda dekat Desa Sungguminasa di Gowa. Walaupun demikian tidak semua keturunan dan keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei menjadi korban, masih ada keluarga yang berhasil meloloskan diri. Tiga istri Mayor dapat melarikan diri ke pedesaan, dan empat anak laki dan perempuannya juga melarikan diri. Menurut keluarganya di Makassar, mereka bersembunyi selama perang di suatu tempat di pedesaan daerah seperti di Camba dekat Maros dan Pangkep atau Malino.
Mayor Thoeng memiliki sepuluh orang anak. delapan putra dan dua putri. Sudah menjadi kebiasaan dahulu orang-orang Tionghoa kaya memiliki dua-tiga istri, dua diantara istri-istrinya merupakan berasal dari Tiongkok dan Singapura, termasuk istrinya yang ketiga merupakan Pribumi, yang konon katanya memiliki garis keturunan dengan Pangeran dari Gowa dan Pangeran Diponegoro.
Alasan dieksekusinya Mayor Thoeng Liong Hoei ialah menolaknya sang Mayor untuk berkerjasama dengan Jepang dan perlawanan mereka terhadap pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan. Setelah kejadian tersebut, perusahaan (terutama pabrik minyak kelapa) milik Mayor Thoeng Liong Hoei disita oleh pihak Jepang, walaupun belum diketahui secara rinci perusahaan apa saja yang disita.
Setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945, pihak keluarga mencari makam Mayor Thoeng Liong Hoei dan menantu laki-lakinya di Gowa. Kemudian menguburkan mereka kembali di Jl. Irian. Kuburan mereka sejak saat itu telah dipindahkan dua kali karena perluasan kota yang senantiasa senantiasa berkembang. Makam Mayor Thoeng Liong Hoei kini berada di Bolangi Kabupaten Gowa, setelah dipindahkan dari Batujangang yang kini sudah menjadi Kantor Gubernur Sulsel, pada tahun 1984
Rumah Kapitan Cina “Mayor Thoeng” terletak di Jalan Bacan No.5, Kelurahan Ende, Kecamatan Wajo, Kota Makassar yang termasuk dalam Kawasan Pecinan. Rumah ini merupakan hak milik a.n. Harry Thoenger atau Thoeng Thiong Hoei, Selanjutnya bangunan ini dihuni oleh pemiliknya yang bernama Benyamin Thoeng. Dibangun pada tahun 1927 oleh Mayor Thoeng Liong Hoei, dengan gaya arsitektur Klasik Eropa dan China. Artikel lain menyebut diperkirakan bangunan ini telah ada sejak akhir Abad ke-19 Rumah ini memiliki luas 1490 m2 dan berdiri di atas lahan seluas 969 m2. Rumah tersebut terdiri atas tiga unit, dimana masing-masing unit berlantai dua dan tiga. Unit utama mempunyai tiga lantai jauh lebih besar dari unit lainnya yang hanya dua lantai, yang ketiganya bersusun secara simetrik. Lantai satu unit utama berfungsi sebagai bengkel, lantai dua berfungsi sebagai rumah tinggal, yang terdiri dari ruang tidur, ruang keluarga dan dapur. Sedangkan unit lainnya juga merupakan tempat tinggal. Rumah tersebut hanya memiliki sedikit perubahan. Dulu, bangunannya terbuat dari kayu bayam dan pintunya sudah rusak, sehingga banyak yang diganti. Sekarang sudah menggunakan pintu besi. Rumah ini direnovasi sedikit demi sedikit sekitar tahun 1980-an. Mayor Thoeng Liong Hoei juga dipandang sebagai pahlawan perlawanan di Tiongkok. Seorang pemimpin Tionghoa di luar negeri yang melawan Jepang, yang membayar harga tertinggi untuk perlawanannya. Ini paling jelas terlihat di desa leluhurnya Xinchun di Provinsi Fujian. Ayahnya, Thoeng Tjam, mendapatkan posisi penting di desa setelah sumbangan makanannya selama kelaparan tahun 1880 dan membangun sebuah rumah leluhur di sana.
SUMBER