Wednesday, Dec 18, 2019
Bangunan Klenteng Kwan Kong ini secara administratif berada di Jalan Sulawesi Nomor 2 Rt.6 berada di Kelurahan Baru, Kecamatan Wajo. Bangunan ini beratap limasan dimana pada bagian teras yang kini telah ditambahkan tembok memiliki lebar 13 meter dan dan panjang 3.5 meter. Menyatu padu dengan tembok pada bagian depan terdapat 3 pasang jendela ganda panil kaca dan pintu kayu ganda.
Pada luar bangunan, di sisi kanan terdapat bangunan terpisah tetapi saling berdekatan. Salah satunya deretan kamar mandi dan WC yang memanjang dari tembok pembatas sebelah Selatan ke arah Utara. Bangunan tengah merupakan ruang yang unik dengan struktur pintu melengkung dangkal seirama dengan atap bangunan tersebut. Bangunan terakhir relatif lebih baru dengan orientasi bangunan menghadap ke Utara dan bercat warna biru muda.
Di belakang bangunan terdapat sumur dan di sisi Timur terdapat bangunan pavilium yang sudah tidak terawat dan ada yang mulai roboh. Sisi Timur bangunan struktur tembok setinggi 2 meter dimana sebagian menempel dengan dinding rumah sebelah Timur. Tembok yang menempel pada tembok pembatas SMPN 02 sebagian telah roboh. Pada sisi inilah banyak komponen bangunan pendukung mengalami kerusakan.
Elemen Struktur Bangunan Klenteng
Salah satu keahlian para orang Tionghoa adalah kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu. Ukiran-ukiran dari konstruksi kayu dapat terlihat pada bangunan-bangunan khas Tionghoa. Detail-detail konstruktif yang dapat berupa penyangga atap ( tou kung ) atau pertemuan antara kolom dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat dengan sangat indah sehingga tidak perlu ditutupi.
Penggunaan Warna
Warna-warna yang digunakan pada arsitektur bangunan Tionghoa memiliki arti-arti yang bermakna. Berikut adalah warna-warna yang digunakan pada bangunan arsitektur Tionghoa beserta artinya.
Merah
Warna merah merupakan warna yang melambangkan api dan warna arah selatan. Warna merah dipercayai membawa keberuntungan dan kemakmuran, dan juga melambangkan kebenaran dan ketulusan hati. Pada arsitektur bangunan-bangunan Tionghoa, penggunaan warna merah dapat ditemukan di bagian kolom, dinding dan ornamen- ornamen bangunan.
Kuning
Warna kuning merupakan warna tanah. Didalam arsitektur bagunan Tionghoa, penggunaan warna kuning sering didapatkan di bagian dinding dan ornamen hias pada bangunan klenteng. Warna kuning melambangkan kemakmuran dan sikap optimis serta umur yang panjang dan kekayaan.
Biru
Warna biru merupakan warna yang menyerupai elemen air dan merupakan lambang arah timur. Warna biru juga melambangkan suatu kedudukan atau jabatan. Warna ini sering ditemukan di bagian atap dan dinding.
Hijau
Warna hijau sering dikaitkan dengan keberuntungan (rezeki yang melimpah). Warna hijau sering digunakan sebagai elemen dekorasi, balok dan braket.
Klenteng Kwan Kong dibangun pada 1810-an oleh Kiang Lok Ching untuk rumah ibadah umat Kong Hu Chu. Bangunan di Jalan Sulawesi 172-dulu Jalan Temple Straat-ini hingga sekarang masih memiliki fungsi yang sama. Klenteng Kwan Kong dibangun pada 1810-an oleh Kiang Lok Ching untuk rumah ibadah umat Kong Hu Chu
Seluruh kegiatan ritual sembahyang menjelang hingga akhir rangkaian Tahun Baru Imlek 2573 dilakukan secara sederhana, terbatas, dan dengan penerapan protokol kesehatan. Pertimbangan utamanya adalah demi kesehatan dan keselamatan umat dan masyarakat.
Salah satu kegiatan ritual yang mengawali seluruh rangkaian Tahun Baru Imlek dan memiliki makna mendalam adalah upacara Ganti Jubah Dewa. Kegiatan ritual ini diadakan oleh berbagai klenteng, vihara, dan cetiya yang ada di kota Makassar.
Klenteng Kwan Kong merupakan rumah ibadah bagi umat Tridharma (Buddha, Konghucu dan Tao) di Makassar yang didedikasikan pada Dewa Kwan Kong, sesuai dengan namanya Klenteng Kwan Kong. Dewa Kwan Kong merupakan panglima atau jenderal perang dalam sejarah Tiongkok. Dewa Kwan Kong juga disebut Jenderal Guan Yu dalam masa tiga kerajaan. Guan Yu terkenal dengan kebijaksanaan, semangat, kecerdasan baik dalam pendidikan maupun bela diri, ketulusan, kesetiaan,keberanian, dan memiliki budi yang luhur. Hal itulah yang menjadikannya sebagai orang suci dan dipuja oleh masyarakat tionghoa. Sejarah berdirinya klenteng Kwan Kong di Makassar sulit untuk ditelusuri kapan tahun pasti berdirinya klenteng ini. Pendirian klenteng ini tidak terlepas dari imigran dari suku Kanton Tiongkok. Pada awalnya tempat ini merupakan wadah untuk bersatu dan berkumpul para perantau. Pada umumnya para pendatang ini kebanyakan laki-laki dan merupakan para pekerja pertukangan, dari tukang kayu, batu dan logam, selain pertukangan terdapat pula guru dan pedagang. Mereka kemudian bersepakat untuk mendirikan wadah perkumpulan di bidang keagamaan dan kesenian. Dalam perkembangannya pada bidang kesenian dikembangkanlah seni terompet dan Barongsai di Jalan Lombok, dahulu bernama Balandastraat. Bidang Pendidikan dengan nama Loen Djie Tong, dan mendirikan sekolah Loen Djie di Jalan Sumba, sekarang SMP Negeri 5 Makassar.
Pada Bidang Percetakan dan penerbitan surat kabar, didirikan Qiao Sheng Bao di Jalan Timor. Karena terdapat perubahan kebijakan pada tahun 1958 maka hanya tersisa pada bidang keagamaan saja hingga saat ini.
Menurut buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga Abad ke-20 karya Yerry Wiryawan, pada tahun 1897 orang-orang Kanton dan orang-orang yang berasal dari Fujian membuat sebuah perkumpulan Fujian Guangdong Lianyi Huiguan atau “ Perkumpulan orang-orang Tionghoa asal Fujian dan Guangdong”. Namun kemudian orang-orang asal Guandong mendirikan perkumpulan dengan rekan sesukunya. Kemudian secara perlahan perkumpulan ini menerima anggota yang berada di Kota-kota Sulawesi Selatan. Menurut Teng Tjong HaE dalam Tulisannya Riwajat Klenteng-klenteng di Makassar dalam Buku Peringatan Persatuan Tionghoa Peranakan(PERTIP) Makassar tahun 1953, berdasarkan tradisi lisan, pada tahun 1889 di Jalan Klenteng, sekarang bernama Jalan Sulawesi, dulunya bernama Templestraat/chinesestraat waktu itu ketika di daerah itu masih berderet rumah-rumah bambu beratap daun nipa. Dalam salah satu yang berada di sebelah utaranya Klenteng Tjo Soe Kong (Zushi Gong) terdapat lima atau enam orang Tionghoa dari suku Kong Foe. Pekerjaan mereka ialah tukang kayu dan batu.
Dalam rumah mereka terdapat tempat pemujaan yang gambarnya merupakan Dewa Kwan Kong yang terletak di pertengahan rumah mereka. Pada atas meja pemujaan diletakkan satu barongsai. Pada atas pintu rumah mereka terdapat papan dengan huruf Tionghoa ‘Djien Gie Tong”.
Pada setiap tahun Imlek mereka akan keluar dengan baronsai dengan berkeliling kampung. Kemudian atas usahanya beberapa orang pedagang dan tukang suku Kong Foe (Kwitang) mengumpulkan uang untuk mendirikan suatu klenteng batu. Ketika itu Tuan Auw Yong Wae Bersama Toekee dari toko Tek Kie saat pulang ke Tiongkok, mereka menyuruh membuatkan Rupang/Patung Kwan Kong berseta perlengkapannya. Setelah rumah batu sudah dibangun di Jalan Klenteng No. 172, maka diberikanlah nama “Kanton Ben Gie(Hwee) Koan”. Selain itu Gambar Dewa Kwan Kong serta abu pemujaan (mungkin disini dimaksud abu leluhur) yang berada di rumah bambu tersebut dipindahkan. Setelah itu barulah Rupang/Patung Dewa Kwan Kong tiba ke Klenteng ini Bersama perlengkapannya. Datang pula beberpa Rupang/Patung seperti, Rupang/Patung Toa-Pe Kong, Dewa Loo Pang (Lu Ban), dan lainnya. Selain Rupang/Patung tiba juga seorang Sin Kwa Mia (Ahli Nujum) yang kemudian terkenal akan kepandaiannya meramal dan nudjum.
Inkspsi tertua yang bisa ditemukan pada klenteng ini ialah ornament seni ukir yang bertahun 1875 yang berada pada altar utama yang didatangkan langsung dari Tiongkok. Bentuk fisik lain yang bisa dilihat ialah prasasti batu yang berada di atas pintu gerbang klenteng bertahun 1897 yang bertuliskan “Wadah Perkumpulan Orang Kanton” yang menandai dimulainya renovasi pertama tempat tersebut. Pada Prasasti bertahun 1899 diabadikan nama-nama donatur yang terlibat dalam renovasi klenteng yang datang bukan hanya dari suku Kanton saja melainkan dari suku lainnya. Terdpat pula Genta yang Bertahun 1918 serta Kiu(Tandu dewa) yang bertahun 1907. Pada Tahun 1985 Rupang/Rupang/Patung Kwan Kong yang besar dan baru datang dari Taiwan untuk menggantikan Rupang yang lama. Penggantian ini dikarenakan Rupang lama yang telah dimakan usia.
Bentuk fisik bangunan awal Klenteng ini sudah sulit untuk ditelusuri bentuk aslinya dikarenakan telah beberpakali mengalami renovasi dan pemugaran. Klenteng tersebut telah mengalami pemugaran, tahun 1890, 1970, 1987, dan terakhir terjadi pada tahun 2019. Renovasi tejadi dikarenakan beberpa Hal salah satunya ialah karena kelnteng sering terjadi kebanjiran. Akibat sering terjadi banjir, maka klenteng pun awalnya meninggikan lantai pada lantai dasarnya. Namun kemudian mengubahnya menjadi bangunan bertingkat. Sebelum perubahan besar terjadi lantai bangunan dulunya terbuat dari lantai papan.
Denah bangunan klenteng ini berbentuk tapal kuda atau membentuk huruf U. Pada bagian sebelah kiri bangunan kini mengalami pemugaran dan akan menjadi Sembilan lantai (sementara pengerjaan) dan bagian sebelah kanan dan belakang yang merupakan gedung lama berlantai enam yang dibangun ketika pemugaran pada tahun 1987. Pada lantai satu bangunan ini pula terdapat pemujaan bagi leluhur bagi orang-orang yang telah meninggal. Altar leluhur ini diperuntukkan kepada orang-orang yang telah meninggal dan keluarga mereka sudah tidak lagi melakukan pemujaan akibat berpindah keyakinan ataupun alasan lainnya. Altar ini menyimpan cukup banyak papan nama yang berasal dari berbagai marga. Pada Tahun 1970 Karena adanya proyek pelebaran ruas jalan yang menyebabkan bagian depan bangunan pun hilang. Namun demikian, bagian-bagian konstruksi yang penting, terutama pada ruang dalam masih dipertahankan. Dinding, kolom, dan balok perabot pada ruang ini merupakan bagian asli dari klenteng lama, penuh dengan hiasan berupa ukiran, relief berwarna emas, Rupang/Patung, kaligrafi China, dan lukisan-lukisan. Bangunan ini terdiri atas dua bagian. Bagian depan merupakan unit utama yang terdiri atas dua lantai dan bagian belakang terdiri dari lima lantai. Lantai 1 untuk Dewa Kwan Kong, Lantai 2 untuk Kantor Yayasan Setia Dharma, Lantai 3 untuk ruang santai, Lantai 4 untuk pemondokan, Lantai 5 untuk Buddha Gautama dan Avalokiteshvara Bodhisattva, dan Lantai 6 untuk Dewa Bu Chang Kwan, Chai Po Seng Kwan, Kong Fu Cheng dan Lao Pan Shen Szee.
DAFTAR PUSTAKA