Wednesday, Dec 18, 2019
Klenteng Ibu Agung Bahari terletak di Jalan Sulawesi Kelurahan Pattunuang, Kecamatan Wajo, dahulu jalan ini bernama, Chinessestraat/Templestraat/Jalan Klentenng,. Klenteng ini dibangun pada tahun 1738 yang diketuai oleh Kapitan Lie Lu Chang/Li Ruzhang. Patut diketahui bahwa ada dua informasi mengenai pendirian klenteng ini. Apakah awalnya dibangun oleh Ong Goat Ko atau Lie Lu Chang.
Pada masa Kapitan Ong Goat Ko (Wang Yue dalam bahasa Mandarin, I Wakko dalam sumbersumber Belanda, Ong Goat Ek dalam Bahasa Hokkian) yang mulai membangun kehidupan sosiocultural masyarakat Tionghoa di Makassar, Klenteng Ma Tjo Poh dibuat untuk dipersembahkan bagi Thian Hoo atau Dewi Langit (Untuk memuja Dewi Ma Tjo Poh) yang dipercaya sebagai dewi pembawa berkah dan keselamatan di laut. Menurut sebuah tulisan yang tertanggal 8 Agustus 1975, Penjampaian Riwajat Ringkes serta Sedjarah Rumah Ibadah Ibu Agung Bahari, pendirian klenteng ini terjadi pada tahun 1685 di masa Kapitan Ong Goat Ko (1679?-1700), disebutkan bahwa sang Kapitan mendirikan tempat Altar Persembahyangan untuh Thian Hoo. Namun lokasi atau tempat belum bisa dikonfirmasi secara tepat dikarenakan masih kurangnya referensi yang didapatkan.
Klenteng yang dibangun oleh Ong Goat Ko tersebut, terdiri dari bangunan yang membelakangi gunung, sementara pintunya terbuka menghadap ke laut. Gedung klenteng ini sering disinggahi oleh para pelaut yang datang ke Makassar. Berdiri di atas areal seluas 34,20 x 22,20 m, klenteng ini memiliki ukuran bangunan induk sebesar 15,10 x 10,37 m. Klenteng ini dibuat dengan gaya arsitektur khas Cina/Tionghoa yang sangat megah. Bangunan ini telah mengalami perbaikan kayukayu yang berukir, yang didatangkan dari Cina/Tiongkok. Pilar-pilar dari batu andesit dengan ragam hias motif ular naga atau tumbuh-tumbuhan. Hampir seluruh bangunan memiliki hiasan ukiran. Bangunan klenteng ini dibangun dengan menggunakan bahan seperti: kayu, batu andesit, batu bata, genteng, dan kerang-kerang laut yang berwarna-warni.
Menurut artikel yang diterbitkan di majalah Perancis pada tahun 1846 berjudul 'Le Magasin Pittoresque' edisi XIV terbitan bulan Oktober. Penjelajah Perancis Jules César Sébastien Dumont d'Urville dengan menggunakan kapal L'Astrolabe dan kapal La Zélée meninggalkan Prancis dan menuju Antartika di Selatan. Ekspedisi ini diketahui pernah singgah di Celebes (Sulawesi) termasuk Makassar. Salah satu yang ikut dalam Ekspedisi ini ialah Louis Le Breton, yang membuat sketsa lukisan atas keindahan keunikan selama perjalanan dalam pembicaraan antara Jules Cesar dan Le Breton mereka membicarakan mengenai design sebauah klenteng di Makassar. “Beberapa bagian detail bangunannya tidaklah berbeda dengan kebanyakan kuil-kuil tradisional Cina/Tionghoa pada umumnya. Dekorasinya biasanya terdiri atas sebuah kolom yang dihiasi dengan balutan ukiran pada lukisan dan tulisannya, lampu-lampu, dupa dengan lilinnya, dan pada mejanya dimana ditempatkan beberapa patung dari banyak dewa-dewi masyarakat keturunan Cina/Tionghoa yang umumnya menganut politheisme, lebih banyak daripada gambaran yang dikreasikan oleh kaum Yunani dan Romawi Kuno: Pan-kou, yang memperkenalkan tatanan alam semesta dengan memisahkan langit dan bumi; Ien-nan, yang menghakimi orang mati dan memimpin perpindahan jiwa; Ien-uam, yang memimpin dunia orang mati; Tien-kouen, Penguasa Langit; Loui-xen, Dewa Petir dan Kilat; Lao-chuin, penengah utama peperangan; Koung-foutseu, Dewa Kebijaksanaan; kemudian pengatur perdagangan dan pemberi keberuntungan, pelindung pintu rumah tangga, orang cerdas yang mengawasi kota, sahabat para pendeta dan pelindung rakyat jelata, dan lain-lain. Di samping dewa-dewa umum ini, setiap keluarga, setiap bisnis, setiap kondisi, memiliki pujaan khususnya sendiri, dalam lingkup yang lebih terbatas, memiliki pengaruh yang lebih tertentu, disesuaikan dengan naluri khusus dan bahkan untuk kebutuhan tertentu.”
Berdasarkan pada tulisan yang ada pada prasasti yang terpasang pada salah satu sisi dinding bangunan klenteng dengan tulisan China/Tionghoa, yang isinya antara lain berarti klenteng ini bernama asli Thian Hoo Kiang yang artinya Istana Ratu Langit. Namun, dari prasasti yang ada menjelaskan bahwa klenteng yang bernama asli Thian Hoo Kiang itu pernah berdiri selama kurang lebih 100 tahun di Hoogepad, sekarang Jalan Jend. Ahmad Yani. Kemudian Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC) lalu memerintahkan klenteng itu dipindahkan ke tempatnya saat ini.
Pada awalnya, pembangunan klenteng yang menghadap ke laut (barat) agar memudahkan para saudagar-saudagar untuk beribadah hingga pada masa kekuasaan Dinasti Qing-Manchu di Daratan Tiongkok (1644-1912). Pada masa Lie Lu Chang arah pintu masuk klenteng diubah dari menghadap ke laut menjadi menghadap gunung (timur) yang berada dibelakangnya. Salah satu penyebab hal itu dikarenakan adanya kebijakan politik dari Pemerintah Hindia Belanda, maka arah hadap dari klenteng tersebut kemudian dirubah ke arah timur. VOC mempunyai anggapan bahwa orang-orang Tionghoa sebagai suatu potensi yang menguntungkan. Sehingga, VOC khawatir kalau orang Tionghoa telah berhasil, maka mereka akan meninggalkan Makassar dan kembali ke kampung halamannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka mereka bermusyawarah dengan pemimpin orang Tionghoa. Hasil yang diperoleh dari musyawarah tersebut disepakati bahwa jalan satu-satunya ialah agar arah hadap dari klenteng tersebut harus dirubah.
Setelah perubahan besar yang terjadi, orang-orang Tionghoa di Makassar yang percaya terhadap klenteng tersebut, akhirnya merasa takut untuk berlayar. Menurut kepercayaan mereka, Dewi Laut (Ma Tjo Poh) atau Thian Hoo tidak akan menolong, melainkan akan murka terhadap mereka karena klenteng tersebut telah menyalahi prinsip kepercayaan tradisional Tionghoa. Prinsip kepercayaan mereka tersebut berdasarkan pada Feng Shui, yaitu dihubungkan dengan lima unsur kepercayan tradisional Tionghoa, yakni: air, api, kayu, logam dan tanah.
Bangunan ini pernah mengalami pemugaran pada 1805, 1831, dan 1867, pada masa Kapitan Nio Tek Hao yang mulai memugar saat bangunan rumah ibadah ini dalam kondisi rusak. Namun sebelumnya dalam inskripsi tahun 1867 yang memperingati restorasi Tian Hoo Kiang, menyebutkan bahwa pada pada tahun 1803 Oey Nyeeko (seorang Kapitan Cina di Makassar) mengambil inisiatif untuk meperbaiki klenteng ini. Oey Nyeeko juga mendirikan Paviliun untuk berdoa dan ruangan meditasi, yang konon layak untuk dikunjungi. Pada tahun 1950, Thian Hoo Kiang baru berubah nama menjadi Klenteng Ibu Agung Bahari.
Klenteng ini hancur akibat kebakaran, sebagian besar bagian bangunan klenteng yang dibakar dari kerusuhan pada tahun 1997, hanya menyisakan pintu atau gerbang utama dan dinding sayap kiri klenteng saja. Kerusuhan tersebut disebabkan oleh Isu Ras/Etnis dan Agama. Pada tahun 2000, bagian dalam klenteng dibangun kembali dengan arsitektur modern yang bertingkat. Bangunan yang sekarang bisa saksikan. Klenteng ini berbasis agama atau ajaran Konghucu, walaupun demikian, masih terdapat patung Buddha di Klenteng ini. Penyebutan Vihara (Vihara Ibu Agung Bahari, seperti yang diteterah pada gedung baru) pada klenteng ini terjadi pada tahun 1997, ketika kerusuhan terjadi. Seperti yang diketahui Vihara merupakan tempat beribada agama Buddha, agama resmi dari 5 Agama Nasional/Resmi pada saat itu. Etnis Tionghoa saat itu merasa takut untuk beribadah sehingga sebagian dari mereka beralih kepercayaan menjadi agama Buddha dan sedikit merubah fungsi klenteng menjadi fungsi Vihara. Bangunan ini sudah diinventarisasi BP3 Makassar No.342.
SUMBER